Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #11

BAB II Bagian 5: Di Kota Kelahiran Lara

Saat Lalu

 

Seperti yang akhirnya kamu tahu, Kama bukanlah satu-satunya pria yang kutemui di kota besar. Bahkan, aku lebih dulu bertemu dengan Thomas dibanding Kama.” Lara melanjutkan ceritanya.

“Dia seorang pemilik kedai kopi di dekat kantor majalah Kana. Dia orang pertama yang kukenal di kota besar, bahkan orang pertama yang mengajakku bicara di sana. Dia pintar sekali menghibur. Aku sering dibuatnya tertawa. Tapi kalau kamu tanya siapa yang lebih berhasil membawaku keluar dari kesedihan tentang kepergian nenek, jawabannya adalah Tuan. Kama. Seperti perbandingan antara kopi dan teh. Mana yang lebih bisa membuatmu tenang? Jawabannya pasti teh. Lalu bagaimana dengan kopi? Dia memberimu semangat. Kama adalah teh, sementara Thomas adalah kopi. Mereka dua yang berbeda, tapi masing-masingnya memiliki peran. Dan seperti yang kamu tahu, aku sangat menyukai teh. Dari dulu hingga saat ini. Meski Thomas sudah menjejaliku dengan rasa kopi terenak di dunia, aku tetap lebih suka teh melati buatanmu, Sa.”

“Coba ceritakan lagi lebih jelasnya, apa yang membuatmu suka sampai sebegitunya pada Tuan padahal Thomas yang lebih banyak menghiburmu saat Tuan hanya memberimu setumpuk kerjaan?”

“Hmm...” Lara menyenderkan punggungnya, mengambil posisi ternyaman untuk berpikir.

“Sejujurnya, aku tidak tahu, Sa,” lanjutnya. “Thomas bisa membuatku tersenyum, tapi tidak menyembuhkan. Ia bisa membuatku tertawa, tapi tidak melupakan. Semuanya hanya sebatas saat itu bersama Thomas. Tidak berkesan. Bahkan pahitnya kopi hanya sampai lidahku saja, tidak sampai kubawa pulang. Kamu mengerti, kan, Sa?”

“Tidak.” Jawabku singkat.

“Thomas hanyalah teman bagiku. Sementara Kama, entah bagaimana aku menjelaskannya, dia berbeda. Dia berhasil membuat jantungku berdegup kencang saat yang dilakukannya hanya diam. Dia diam saja, aku sudah suka.”

“Cinta memang sebuah kata yang paling sulit dijelaskan,” aku menimpali kalimatnya.

“Bahkan bukan sekali dua kali aku kembali mempertanyakan apa ini benar cinta atau hanya kekagumanku belaka.”

“Dan kita sering tidak sadar akan kehadirannya,”

“Sa...”

“Ya, Lara. Aku mendengarkan.”

“Sebelum ceritaku sampai di sini, kamu sudah lebih dulu tahu tentang Thomas, bukan?”

“Jika dia adalah pria dalam sebuah foto yang ditunjukkan Nyonya Erna beberapa tahun lalu, ya aku tahu.”

“Kenapa kamu tidak bertanya apa-apa padaku, Sa?”

“Karena aku menunggu kamu yang bicara lebih dulu, Lara.”

“Emhh.” Lara menghela nafas tenang, “Maaf, Sa. Aku telah membuat jarak di antara kita padahal hampir tiap hari kamu menanyakan kabarku.” Lara menunduk.

“Kamu tidak perlu minta maaf dan tidak ada yang perlu dimaafkan, Lara. Setiap orang berhak memiliki rahasianya masing-masing, itu hak privasimu. Bagaimana pun dekatnya kita, aku tidak akan mencampuri urusan yang tidak ingin kamu bagi denganku.”

“Tapi sekarang aku ingin membaginya denganmu, Sa. Aku...” Lara kembali terbata-bata menahan tangis. “Aku sudah tidak bisa lagi menyimpannya sendiri. Perasaan ini, kuharap kamu tidak pernah merasakannya, Sa.”

Lihat selengkapnya