“Apa menurutmu semua ini mudah bagiku, Sa?”
“Tentu tidak, Lara. Kamu tidak sadar betapa sedari tadi aku menolak keras perjodohanmu?”
“Jika ada satu cara yang bisa membebaskanku dari perjodohan ini, pastilah aku mau, Sa. Kalaupun aku harus membayar dengan harga yang sangat mahal, aku mau.”
“Ada satu, Lara,”
“Apa?”
“Tolak perjodohan ini.”
“Selain itu?”
“Huftth.” Aku menghela nafas, “Aku penasaran bagaimana bisa kamu bekerja di kantor majalah itu saat kamu tidak bisa berdiskusi dengan ibumu sendiri.”
“Itu dua hal yang berbeda, Sa. Kamu tahu sendiri ibuku seperti apa.”
“Tetap saja Lara. Kuncinya ada di komunikasi. Kalau selama ini kamu hanya menurut saja tanpa memberitahu apa yang sebenarnya kamu mau, Nyonya Erna akan mengira semua yang dilakukannya sudah benar membuatmu senang. Nyonya Erna akan semakin berpikir bahwa cara yang dilakukannya berhasil membuatmu bahagia, seperti yang diharapkannya.”
Lara kembali menatap lukisan rajut bunga anggrek bulan, lalu kembali membalas perkataanku dengan tatapan yang tidak berubah seolah-olah ia sedang bicara dengan lukisan itu.
“Harapan. Satu kata yang sungguh berat bebannya.”
“Maka dari itu, Lara, bicaralah.”
Aku tidak tahu ini termasuk dalam rayuan atau bentuk pemaksaan kehendakku pada Lara. Aku tidak tahu apakah ucapanku akan terdengar seperti seorang sahabat yang memberi nasihat pada masalah sahabatnya, atau malah seperti seorang sok berpengalaman yang memaksakan nasihatnya untuk diterima kepada seorang yang sebenarnya tidak butuh-butuh amat nasihat seorang yang sok itu. Entah Lara menangkap ucapanku seperti apa, yang jelas aku melihat dari matanya bahwa ia sendiri sedang bingung.
“Kamu tahu, Sa? Aku benar-benar merindukan Kama. Si Tuan itu, senang sekali mengantarku pulang saat malam. Aku tidak pernah meminta, tapi aku selalu menerimanya.”
“Ceritakan padaku, malam apa yang paling berkesan bagimu saat sedang bersama si Tuan itu?”
“Menurutku setiap malam selalu berkesan, Sa.”