Sebuah kilat menyambar langit gelap di atas kota kecil yang bertetangga sebelah dengan kota pantai. Hujan yang datang menyambangi hari itu adalah kiriman dari kota tetangga. Sudah selesai urusannya di laut, dia pergi ke darat. Begitu kata-kata pepatah seorang wanita anggun yang selalu mengelilingi kota kecil dengan mobil putihnya di sore hari. Memasuki Bulan Juni memang selalu mendatangkan hujan di dua kota itu. Meski tidak semenyeramkan hujan di bulan Desember yang sering membawa badai ikut serta, atau gulungan-gulungan angin kecil di atas tanah lapang yang kemudian turut menerbangkan butiran debu. Sekecil atau sebesar apapun kedatangan hujan di bulan itu, si wanita anggun tetap akan melaju dengan mobilnya. Tidak peduli meski pandangannya terhalang deras hujan, atau setirnya harus ia seimbangkan dengan kuat karena tiupan angin kencang di luar, wanita anggun itu punya urusan di sore hari yang harus ia selesaikan.
“Sedari tadi hanya ada gelap. Kamu sudah menemukan anak muda itu?” ia tampak sedang bicara di telepon dengan sepasang headset terhubung ke ponsel pintar miliknya.
“Bagus. Tiga menit lagi aku sampai. Berikan saja apa yang dia minta kecuali pulang. Aku harus bertemu dengannya.”
Telepon ditutup.
Tepat pukul 16.28 wanita yang akrab disapa Nyonya Erna itu tiba di sebuah restoran dekat persimpangan antara kota kecil dan kota pantai. Tempatnya sangat luas. Terdapat parkiran dan taman bermain yang semuanya terawat dengan baik. Sebagai tempat makan andalan keluarga, gazibu-gazibu besar tanpa pintu berdiri kokoh untuk memuat satu keluarga besar yang hendak mengisi bahan bakar sebelum main di pantai. Rumah makan lesehan. Begitulah konsep restoran yang sebagian besar bangunannya terdiri dari bambu dan kayu kualitas terbaik itu. Tapi Nyonya Erna berjalan melewati semua gazibu yang sedang tampak sepi itu dan tiba di sebuah gazibu kecil yang lebih tertutup dan memiliki pintu. Sebuah ruang VIP. Sepasang sepatu kulit pria bersanding dengan sepasang sepatu sekolah hitam ukuran 42 di depan pintu. Dalam hati Nyonya Erna sudah menelusuri sosok anak muda yang hendak ditemuinya, dia pasti tinggi.
Nyonya Erna masuk,
“Selamat sore.” Sapanya manis kepada dua laki-laki yang sudah duduk berhadapan di ruangan itu. Seorang laki-laki berumur awal 40 tahunan itu adalah pemilik sepatu kulit yang tidak lagi ditelurusi Nyonya Erna sebelumnya karena dia sudah tahu, Tuan Joe, suaminya sendiri. Sementara seorang laki-laki lagi, pemilik sepatu sekolah berukuran 42 itu adalah tujuannya datang kemari, Thomas.
Tuan Joe dengan santai menjawab sapaan istrinya, “Oh, sore Erna. Ini Thomas. Thomas, ini Erna, istri saya yang sebelumnya saya ceritakan.”
Thomas berdiri dari duduknya, hendak menyambut kedatangan Nyonya Erna.
“Halo, tante. Saya Thomas. Suatu kehormatan bagi saya bisa menemui sahabat dari mendiang ibu saya. Saya sudah mendengar banyak tentang tante sebelumnya.” Dengan senyum yang sopan Thomas menutup perkenalannya.
“Hahaha.” Nyonya Erna tertawa ringan, lalu ikut bergabung duduk di kursi sebelah Tuan Joe. “Ada terlalu banyak cerita antara tante dan Rena yang pasti belum semuanya kamu dengar. Apa kamu baru pulang sekolah? Sayang, kenapa dia dijemput di sekolah?” Nyonya Erna memalingkan wajahnya kepada Tuan Joe.
“Aku tidak mungkin juga menjemputnya di rumah, sayang.” Tuan Joe menjawab kalimat protes istrinya.
“Ah, tidak apa Tante. Lagipula jika Om Joe menjemput saya di rumah, belum tentu saya ada di sana.”
“Memang di mana biasanya kamu berada?”
“Di rumah teman.”
“Teman?”
“Ya. Sahabat saya sejak kecil.”