Saat Ini
Aku bisa melihat dengan jelas raut wajah Kama yang bingung, kesal, dan menyimpan dendam. Meski lampu di ruangan ini berwarna kuning, urat wajah biru keunguan terlihat menonjol di kulit Kama yang kecokelatan. Ia benar-benar gusar karena ceritaku yang tiada henti berisi tentang Thomas. Padahal, itu belum semuanya. Yang kukatakan pada Kama hanyalah cerita pemantik agar Kama bersikap seperti sekarang ini. Ya, aku membuatnya menjadi bingung, kesal, dan menyimpan dendam. Aku ingin membuat Kama keluar dari rumah nyamannya dan pergi berlari menuju Lara. Aku ingin Kama mencegah perjodohan Lara dan Thomas bagaimanapun caranya. Bahkan kalau Kama harus menculik Lara, aku akan jadi orang pertama yang bersedia membantunya.
Oh, Kama, maafkan aku. Begitupun kepada Lara, aku harus meminta maaf banyak sekali padanya karena telah melampaui batas. Aku tahu, Lara sangat ingin pergi bersama Thomas, dan aku juga tahu alasan di balik keinginannya itu.
“Apa alasannya?” Kama yang sedang kalut akhirnya membuka mulut. Mengacaukan lamunanku.
“Alasan apa?”
“Alasan kamu memberitahu saya semua ini. Tolong katakan saja dengan jelas. Saya tidak butuh cerita lagi. Sudah cukup. Kepala saya sakit.” Ucap Kama tegas. Kuharap bukan hanya kepalanya yang sakit, hatinya juga harus sakit karena sekarang ia telah mengetahui kebenaran dari status Thomas sesungguhnya; kakak angkat Lara yang sekarang menjadi calon suaminya. “Bagaimana bisa kamu menceritakan semua hal tidak masuk akal ini pada saya tanpa alasan? Jangan ada lagi melodrama tentang Lara yang rindu, karena entah kenapa saya jadi tidak percaya itu.”
“Hmm.” Aku mencoba tetap tenang. “Begini, Kama. Alasanku kemari memang tidak sesederhana menyampaikan rasa rindu Lara dan perasaan cintanya padamu. Tapi kamu harus tahu, dua alasan itu adalah milik Lara. Lara benar-benar ingin aku membuatmu paham bahwa kepergiannya adalah suatu keharusan, agar tidak ada yang tersakiti oleh perasaan masing-masing. Baginya, semakin ia mencintai sesuatu, semakin ia harus melepasnya. Ia tidak ingin apa yang dimilikinya itu diambil paksa, karena rasa sakitnya akan lebih berat daripada melepas kepemilikan dengan sendirinya. Apa kamu paham sampai sini?”
“Ya, aku paham. Lara egois.”
“Egois?” aku sedikit kesal mendengar jawaban Kama.
“Tentu. Ia tidak ingin sakit hati? Maka itu berarti dia egois. Dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku diperlakukan seperti itu.”
“Bukankah pola pikirannya baik? Lara hanya tidak ingin merasakan sakitnya ditinggal oleh orang yang dia cintai…”
“Dan dia melakukan itu padaku. Dia telah meninggalkan orang yang mencintainya. Apa dia tidak berpikir bahwa sekarang ini aku yang berada di posisinya? Bagaimana mungkin dia bisa begitu percaya diri bahwa aku yang akan meninggalkannya?”
“Itu… karena...” sial, aku kehabisan kata-kata. Kama ada benarnya. Bagaimana jika kuberitahu alasan pribadiku datang kemari? Dia pasti akan menganggapku egois juga, walau harus kuakui anggapannya tidaklah salah.
“Sayang sekali kereta terakhir akan berangkat sebentar lagi. Saya menghargai semua ceritamu, Sa. Kamu boleh menginap di sini karena saya tidak akan mengantarmu ke hotel. Tapi kamu juga boleh pergi jika kamu tidak merasa nyaman berada di rumah tua ini. Selamat malam.” Kama beranjak dari duduknya, lalu masuk ke dalam kamar.
Aku masih diam. Tidak sempat menyela kata-katanya yang lancar tanpa jeda dan helaan nafas itu. Apa aku gagal? Apa aku tidak bisa membuatnya mencegah kepergian Lara? Kenapa dia jadi marah? Apa dia masih cemburu? Ah, aku sedikit kesal dengan pikirannya. Apa mestinya kuberitahu saja sejak awal tanpa perlu basa-basi dengan semua cerita ini?
Sekarang, aku menatap lukisan anggrek bulan dengan bingung. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tidak ingin Lara pergi ke Hawaii bersama Thomas.
*
Suara denyit pintu kayu membangunkanku dari tidur. Ah! Aku tertidur! Bisa-bisanya, di saat seperti ini, di dua buah kursi yang kusejajarkan agar bisa menopang tubuhku untuk berbaring, aku tertidur! Cepat-cepat aku mencari asal suara pintu itu, takut kalau-kalau suara itu dibuat oleh Kama yang hendak pergi.
Rupanya, ada sebuah gudang di dalam rumah ini. Gudang tersembunyi yang pintunya berukuran kecil tepat berada di samping kompor. Pintu itu masih terbuka, dan aku langsung masuk ke dalamnya.
“Kama?” Suaraku menggema. Siapapun yang ada di dalam ruangan ini bersamaku pasti bisa mendengarnya. Tapi, aku tidak mendapatkan balasan. Maka kuulangi lagi,