Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #18

BAB IV Bagian 2: Di Kota Kelahiran Lara

Saat ini

 

Aku tiba di rumahku. Meski tidak ada yang harus kubersihkan – karena sebelum pergi aku sudah mengerjakan semua pekerjaan rumah – aku tetap mengambil sapu dan menyapu lantai yang masih kesat. Meski jendela tidak terlihat berdebu, aku tetap mengambil kain lap dan menggosok-gosok kaca jendela dengan gerakan berirama. Aku sedang meluapkan kekesalanku karena gagal membawa Kama ke kota ini.

Akhirnya aku terpaksa harus mulai mengikhlaskan Lara. Biarlah ia pergi ke Hawaii untuk menyembuhkan dukanya. Kuharap itu bukan keputusan yang salah, meski firasatku tidak pernah mengatakan itu adalah hal yang benar untuk dilakukan Lara.

Selama ini, aku masih berpikir bahwa masalah tersebesarnya bukanlah rasa duka kehilangannya itu. Entah kenapa aku selalu menaruh curiga pada Nyonya Erna dan selalu ingin menyalahkannya atas semua air mata Lara. Aku merasa paham bagaimana rasanya jadi Lara yang hidup sebagai boneka Nyonya Erna. Sebagai anak yang tidak dikekang dan selalu punya pilihan, aku bisa melihat betapa kehidupan Lara selama ini berbanding jauh terbalik denganku. Aku juga paham bagaimana rasanya kehilangan nenek Poppuri karena aku juga memiliki cukup waktu dan kenangan yang banyak bersamanya. Rasannya mustahil Lara hanya memikirkan dukanya saat menerima tawaran dari Thomas, karena nenek Poppuri tidak membesarkan Lara dengan hati yang rapuh seperti itu. Dan kini, aku mulai menaruh curiga bahwa ada rahasia antara Thomas dan Lara. Apa yang akan mereka lakukan di Hawaii? Apa benar mereka akan menikah? Kenapa juga harus Hawaii?

Namun, sepintas aku teringat kata-kata Kama yang menyalahkan ketidakmampuan Lara dalam mengatasi masalahnya sendiri. Apa jangan-jangan, memang Lara sendiri yang salah di sini? Lara yang tidak ingin menghadapi kenyataan dan selalu kabur dari masalah? Ya ampun! Kama bisa jadi benar, mengingat betapa dia bisa dengan mudah menjadi ceria di kota besar. Tapi berarti, Lara juga tahu tentang masalahnya sendiri. Dia sudah pernah menyinggung efek domino itu, bukan?

Aku jadi teringat percakapanku dengannya yang belum sempat kuceritakan pada Kama,

“Aku masih tidak mengerti, dia tahu tentang Kama? Maksudku, dia tahu perasaanmu pada Kama?”

“Dia tahu, Sa. Sangat jelas dia tahu.”

“Kenapa?”

“Apanya yang kenapa?”

“Kenapa dia mengajakmu ke Hawaii saat dia tahu kamu memiliki perasaan pada Kama?”

“Karena dia juga tahu tentang nenek. Dia tahu bagaimana cara menyembuhkan kesedihanku.”

Lihat selengkapnya