“Jadi, bagaimana urusanmu di sana?” Tuan Haki bertanya tanpa basa-basi lagi selepas aku mendaratkan dudukkanku pada sofa.
“Sudah selesai, tuan. Aku sudah memberi pesan Lara pada pria itu.”
“Hmm, baiklah. Melihat tubuhmu yang masih berisi membuatku percaya kalau perjalananmu juga lancar.”
“Hahaha, aku hanya pergi semalam, tuan. Dan, berat badanku hanya 53 kg dengan tinggi 159 cm. Aku tidak se- ‘berisi’ itu.”
“Berisi yang kumaksud juga tidak berarti buruk, Sa. Hahaha.” Tuan Haki benar-benar seperti seorang kakak yang senang menggoda adiknya. “Lalu kapan Lara berangkat? Kamu benar tidak ingin menghadiri pernikahannya di Hawaii?”
“Hmm…” aku berpura-pura berpikir. Padahal sebenarnya, aku sudah bulat tidak akan ikut ke Hawaii. Bagaimana bisa aku menyaksikan pernikahan yang penuh tanda tanya itu? “Aku benar-benar takut pesawat, tuan.” Aku memberikan alasan yang tidak bisa ditolak tuan Haki. Dan selalu begitu jawabanku pada siapapun yang bertanya tentang keikutsertaanku, termasuk Lara.
“Baiklah. Jawabanmu tidak pernah berubah. Tapi semoga kamu juga tidak menyesal.” Tuan Haki menaikkan kaki kanannya untuk ditopang silang dengan kaki kirinya. “Lalu, kapan Lara berangkat? Kamu belum jawab pertanyaan itu.”
“Ah, iya. Mungkin Jumat? Atau Sabtu? Aku sedikit lupa.” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Oh ya? Berarti aku datang terlalu cepat!”
“Apa tuan akan menginap di sini sampai keberangkatan Lara?”
“Tentu! Aku akan menginap di rumah nenek. Boleh, kan?”
“Oh, tentu boleh, tuan!”