Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #20

BAB IV Bagian 4: Di Kota Kelahiran Lara

Teruntuk cucuku, Lara

Sapa baik untukmu, sebaik aku yang selalu sehat berkat rutin meminum teh hijau tanpa gula dari Haki. Saat surat ini sampai padamu, aku tidak menaruh harapan kamu bisa membacanya langsung dihadapanku. Haha, ya, justru karena itulah aku menulis surat. 

Lara sayang... 

Ada satu do’a yang selalu kusampaikan padamu; sapa baik untukmu. Seperti yang kuharapkan, semoga hanya hal-hal baik yang menyapamu di segala situasi, dari kamu membuka mata di saat sinar matahari belum menginjak tanah, sampai kamu menutup mata di saat bulan purnama sedang memamerkan kecantikkannya.  

Lara, jika kamu bertanya kenapa aku menulis surat ini – seolah tahu bahwa umurku tidak akan sampai saat kamu hendak menikah – alasannya adalah karena aku sekarat. Aku sakit, Lara. Sakit yang tidak perlu lagi kamu perdebatkan saat membaca surat ini karena pastilah saat itu aku sudah terbebas dari sakitku. Entah satu tahun lagi, dua tahun, atau mungkin bulan depan, umurku tidak bisa diharapkan banyak adanya. Tapi kumohon padamu, jangan terlalu banyak bersedih. Jangan menangisi kepergianku, dan jangan berlarut dalam kehilanganku. Karena kamu harus tahu, Lara, aku sungguh menantikan kematianku. Bukan karena aku tidak ingin menemanimu, tapi karena aku ingin segera terbebas dari sakitku. Meski aku rutin meminum teh hijau dari Haki, rasa sakit ini tidak bisa dihilangkan. Ia hanya bisa ditenangkan sesaat, lalu kemudian mengamuk lagi. Oh, aku sungguh senang jika kamu melepas kematianku dengan senyum, karena akupun begitu. 

Lara, kembali lagi pada tujuanku menulis surat ini, saat kamu telah memutuskan untuk menjadi tulang rusuk bagi seseorang. Oh, kuharap Haki benar-benar memberikan surat ini saat kamu hendak menikah. Aku berharap seseorang itu adalah pria hebat yang sanggup membuatmu menetapkan pilihan padanya. Ya, kuharap dia hebat, bukan beruntung, karena kamu bukanlah mesin lotre yang bisa dimenangkan dengan modal keberuntungan. Kamu adalah mutiara, Lara. Kamu berharga, dan kamu patut diperjuangkan. Aku sungguh berharap siapapun dia, tidak akan membuatmu menyesal telah memilihnya sebagai pendamping hidupmu. Pernikahan itu sakral, Lara. Kuharap kamu hanya memilikinya sekali seumur hidup, seperti yang kulakukan dengan kakekmu. 

Lara sayang, berbahagialah. Aku sungguh berharap kamu tumbuh menjadi gadis dengan semangat anak kecil seperti yang kukenal saat kamu sedang bermain bersama Sarah. Semoga kamu bisa meraih mimpimu menjadi penulis cerita, dan sampaikanlah pada Sarah untuk segera memiliki mimpi juga. 


Sapa baik untukmu,

Poppuri

Ada dua hal yang kusangsikan tentang surat itu; pertama, Nenek Poppuri sakit?! aku sungguh terkejut membacanya! Mana bisa aku tidak mengetahui kebenaran itu? Jika aku bisa terkejut seperti ini, bagaimana dengan Lara? Dia pasti lebih terpukul dan merasa bersalah karena tidak bisa menjaga nenek selama ini. Kedua, apa yang dikhawatirkan Nyonya Erna dari surat ini? Nenek tidak menuliskan hal yang buruk tentangnya, juga tidak menentang pernikahan yang terjadi karena perjodohan. Nenek mendukung apapun keputusan Lara, bagaimanapun cara Lara menentukan pilihannya, yang penting itu pernikahan sekali seumur hidupnya bersama pria yang hebat. Jika Nyonya Erna takut isi surat dari Nenek Poppuri dapat menggagalkan pernikahan Lara dengan Thomas, jelas sekali tidak. Thomas adalah pria hebat, menurutku. Dia mapan, dan juga cukup tampan. Dia juga bukan datang karena keberuntungan, tapi karena Nyonya Erna sudah mengenalnya lebih dulu. Hal kedua yang kurasa janggal adalah, kenapa juga Nyonya Erna bisa tahu keberadaan surat ini saat Nenek hanya menitipkannya pada Tuan Haki?

“Bagaimana, Sa?” Tuan Haki membangunkanku dari lamunan.

“Aku terkejut, Tuan, sungguh. Jadi, semua teh itu adalah obat untuk nenek? Teh yang bermacam-macam itu?”

“Oh, aku minta maaf, Sa. Kamu jadi harus mengetahuinya melalui surat ini.”

“Apa Nyonya Erna juga tahu tentang penyakit Nenek?”

“Entahlah. Aku tidak pernah membicarakan penyakit Nenek dengan siapapun selain nenek sendiri. Bahkan di hari pertama kami bertemu, dia datang sendiri ke tempatku.”

“Hmm,” aku menghela nafas, “Baiklah. Aku tidak ingin memperdebatkan ini sekarang, Tuan. Karena yang lebih penting saat ini adalah keputusan yang harus kita ambil, apakah surat ini harus kita berikan kepada Lara atau tidak?” 

“Kurasa tidak ada yang mencurigakan jika kita berikan kepada Erna terlebih dahulu.”

“Aku juga merasa demikian.”

Lihat selengkapnya