Kama sedang berkemas dengan terburu-buru. Ia memasukkan pakaian seadanya dari gantungan baju – yang mungkin belum dicucinya selama berhari-hari – ke dalam sebuah ransel cokelat besar. Beberapa benda penting juga tak lupa ia masukkan: dompet, ponsel, buku catatan kecil, dan sebuah flash disk. Namun, meski tahu hujan sedang sering turun belakangan ini, Kama enggan memasukkan payung berwarna biru navy-nya ataupun jas hujan cokelat yang biasa dia bawa saat mengendarai sepeda motornya. Begitu selesai menghitung barang penting yang harus dibawanya, ia langsung menutup rapat ransel itu dan bergegas keluar dari rumah.
Kama tidak lupa menitipkan rumah berharganya kepada seorang tetangga kepercayaan, sekaligus pamit kalau ia hendak pergi selama berhari-hari bahkan tidak tentu juga berapa jumlah hari kepergiannya itu. Di perjalanan menggunakan angkutan umum, ia baru mendapat balasan pesan elektronik dari atasannya berupa persetujuan cuti selama 7 hari kerja. Kama mensyukuri jumlah 7 hari itu, mengingat dia belum pernah menggunakan jatah cutinya selama bekerja. Namun jika urusannya masih belum selesai selama 7 hari, ia belum tahu apa yang akan dikatakannya pada atasannya nanti.
Beberapa saat kemudian, Kama tiba di stasiun. Ia langsung menuju loket dan membeli tiket tujuan tertentu yang menghabiskan waktu selama 7 jam perjalanan. Kota yang memiliki jarak dekat pantai. Kota yang menjadi tempat sembunyi seorang gadis yang pernah sangat dekat dengannya. Tepat! Kota kelahiran Lara. Kama akan pergi ke sana.
***