Siang ini langitnya kelabu, mendung seperti ada hujan yang hendak turun. Maka dari itu, ruang makan yang berada di dekat jendela itu tidak mendapatkan sinar matahari dengan cukup. Aku jadi harus menyalakan sebuah lampu gantung kecil yang berpendar kuning di atas meja. Hasilnya tidak buruk juga. Meja makan yang sebelumnya sudah ditata cantik dengan vas berisi bunga mawar, kini ditambah pencahayaan kuning dari lampu, jadi memberikan suasana romantis di ruang makanku yang kecil. Aku jadi berterima kasih pada langit karena mendungnya membuat suasana hangat yang telah disiapkan oleh Kama jadi terasa lebih hidup.
Lara datang terakhir ke meja makan, setelah aku dan Tuan Haki yang lebih dulu tiba. Di atas meja sudah kusiapkan lauk-pauk berupa sayur bayam kesukaan Tuan Haki, perkedel jagung kesukaan Lara, tempe goreng tepung kesukaan kami semua, dan ayam goreng yang sebelumnya diungkep dengan bumbu kuning terlebih dahulu.
Entah apa yang Lara lihat saat matanya berubah jadi berbinar dan mulutnya mengucapkan kalimat haru, “Ini indah sekali, Sa. Aku seperti bukan berada di ruang makanmu.” Lara berkata sambil matanya berkaca-kaca.
“Kenapa mukamu begitu, Lara? Ini hanya makan siang biasa. Hahaha.” Aku membalas dengan santai untuk mencegah Lara melanjutkan rasa terharunya.
“Hahaha, aku merasa seperti sedang disambut oleh sebuah perayaan. Apa kamu menyewa tukang dekor tadi? Kenapa rasanya ruang makanmu jadi berbeda seperti ini? Hahaha.” Lara bicara sambil tertawa yang kutahu tawa itu dibuatnnya untuk menutupi rasa terharunya, bentuk pertahanan agar air matanya tidak keluar.
Menurutku Lara sedikit emosional di sini, karena ini hanya ruang makan biasa yang menurutku tampilannya juga tidak se-istimewa itu. Tapi aku sempat lupa untuk sesaat, soal pemilihan taplak meja dan vas berisi bunga mawar itu – yang menurutku tidak serasi dengan berbagai macam lauk yang kutata di atasnya – itu semua adalah selera Kama. Penataan meja yang dibuat oleh Kama mungkin adalah apa yang sebenarnya membuat Lara terharu. Mungkin Lara jadi benar-benar teringat oleh Kama, atau bahkan merasakan jejak kehadiran Kama di sini. Apalagi saat dia berkata, ‘apa kamu menyewa tukang dekor tadi?’, kurasa itu adalah pengakuan dari Lara kalau apa yang dilihatnya itu sama sekali bukan diriku. Bukan aku yang menyukai taplak meja dengan renda bunga, dan bukan aku juga yang suka menghias meja dengan vas berisi bunga. Lara tahu itu, karena selama ini aku memang tidak suka menghias meja dengan vas bunga di atasnya.
“Tentu kamu sedang disambut di sini, Lara,” ucap Tuan Haki, “Kita adalah raja, karena kita tamunya Sarah. Wajar jika dia menyambut kita. Hahaha.” Lanjutnya berusaha mencairkan suasana. Tampaknya Tuan Haki juga sedikit takut dengan reaksi emosional dari Lara.
Sejujurnya, aku dan Tuan Haki tidak mengira penataan meja ini akan menimbulkan reaksi untuk Lara, karena ini tidak ada di dalam rencana sama sekali. Satu-satunya yang harus membangkitkan emosi Lara adalah isi surat dari Nenek Poppuri yang akan diberikan oleh Tuan Haki nanti. Ya, nanti, setelah acara makan siang selesai. Saat waktu makan kudapan dan teh hangat. Harusnya saat itu, agar waktunya sama dengan waktu kedatangan Kama yang telah kami tentukan sebelumnya. Jika Lara sudah merasa terharu atau sedih sejak saat ini, siapa yang akan datang sebagai pahlawan untuk menenangkan kesedihannya? Tidak mungkin aku dan Tuan Haki, kami tidak akan bisa jadi pemantik pengubah keputusan Lara untuk tidak menikah dengan Thomas.
“Iya Tuan, aku hanya merasa belum pernah makan di rumah Sarah dengan vas bunga di atas mejanya, apalagi itu bunga mawar merah, bunga yang romantis,” Lara berkedip sambil menatap langit-langit untuk mencegah air matanya turun.
“Ah, Lara, kamu sangat berlebihan. Bunga itu dari Tuan Haki, dia yang menyiapkan vas beserta bunganya,” aku mencoba meluruskan hal itu kepada Lara, diikuti dengan Tuan Haki yang mengiyakan penjelasanku.
“Sudah...sudah, sekarang kita makan. Ayo, Lara, duduk di sini.” Tuan Haki menarik bangku kayu dan mempersilahkan Lara untuk duduk.