Aku dan Tuan Haki mencoba memaklumi ketidakhadiran Kama siang ini. Hujan di luar memang sangat deras. Salah satu faktor yang berpotensi menggagalkan rencana kami, yang terlewat dari perhitungan kami, adalah hujan itu. Langit seolah enggan menghendaki pertemuan Lara dan Kama hari ini. Ia telah berhasil menggagalkan rencana kami – satu-satunya rencana yang kutaruh harapan besar di dalamnya.
Sekarang, Lara sudah mengetahui penyebab kematian nenek. Ia juga sudah menerima pesan dari nenek untuk menikah dengan pria yang benar-benar dipilih oleh Lara. Kurasa harapan itu masih ada, meski tanpa kehadiran Kama. Aku berharap Lara mau memperhitungkan pesan nenek itu untuk mempertimbangkan kembali pernikahannya dengan Thomas. Namun ternyata, harapanku tipis sekali. Terlalu tipis sampai hampir samar dan menghilang.
Setelah sekian lama menangis, akhirnya Lara mengeluarkan suara, “Oh, Sa, aku minta maaf karena telah mengacaukan hari ini. Tuan, aku minta maaf karena telah menangis seperti tadi.” Ia melepaskan rangkulanku dan berusaha duduk dengan tegar, lalu mengusap air matanya yang banyak.
Aku dan Tuan Haki saling tatap, saling bertanya bagaimana harusnya kami bersikap sekarang? Apa kami harus berpura-pura tidak tahu dan menanyakan isi surat yang membuatnya menangis seperti itu? Atau kami mengaku saja kalau surat itu telah kami baca lebih dulu? Saat ini aku merasa jadi orang jahat yang telah mempermainkan Lara. Akhirnya aku memilih untuk mengaku saja, apalagi saat Tuan Haki mengangguk ke arahku.
“Lara... aku ingin minta maaf sebelumnya,” aku merasa kikuk sekali. Rasanya aku telah gagal menjadi seorang sahabat yang ingin menyelamatkan sahabatnya. Tiba-tiba aku menyesal telah melakukan semua rencana ini. Aku menyesal karena tidak langsung berterus terang pada Lara dan malah membawanya pada semua drama ini. Jika saja aku tidak memiliki rencana untuk mencegah kepergian Lara, jika saja aku tidak mengiyakan saran Tuan Haki untuk membaca surat itu terlebih dahulu, dan jika saja aku tidak meminta bantuan Kama yang sekarang entah berada di mana, mestinya sekarang aku sedang ikut menangis tersedu-sedu bersama Lara. Aku sungguh seorang sahabat yang gagal!
Lara bertanya tentang kenapa aku meminta maaf. Dengan rasa menyesal yang teramat dalam aku menjawab, “Maaf karena sebenarnya aku dan Tuan Haki sudah mengetahui isi surat itu lebih dahulu. Makanya kami sengaja mengundangmu kemari untuk membacanya. Aku minta maaf karena sudah lancang dan tidak jujur padamu...” baru sampai di situ aku berkata, Lara kembali menangis. Sementara aku dan Tuan Haki saling melempar pandang, bingung tentang bagaimana seharusnya kami bertindak.
“Aku yang telah memberi usul kepada Sarah untuk membaca surat itu lebih dulu, Lara. Tolonglah jangan menangis lagi dan jangan marah kepada Sarah.” Tuan Haki berusaha membelaku.
“Aku tidak marah, Tuan,” Lara mengusap air matanya lagi, dan pernyataannya yang seperti itu malah membuatku semakin merasa bersalah. “Aku hanya tidak mengerti kenapa nenek menitipkan surat ini kepada Tuan? Kenapa harus sekarang waktunya? Apa aku tidak cukup dewasa di mata nenek untuk ikut memikul beban kesedihannya? Kalau tahu teh kiriman Tuan adalah obat untuk nenek, maka seharusnya aku tidak ikut meminum teh itu. Harusnya aku tidak menghabiskan persediaan nenek,” suaranya tercekit seperti ada air mata yang ingin keluar lagi. Tapi Lara masih bisa menahannya dan melanjutkan bicaranya, “Aku juga tidak mengerti kenapa persoalan memilih pasangan menjadi topik utama di dalam surat ini, seolah nenek tahu akan terjadi sesuatu di pernikahanku nanti. Nenek seolah tahu kalau aku akan dijodohkan, nenek seolah tahu kalau aku...” Lara berhenti di situ. Ya, dia seperti sedang menahan alasan atau pertanyaan lain yang masih dirahasiakan dari kami, dan aku penasaran,
“Kalau kamu apa, Lara?”
Lara kemudian sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya, ia menjawab sambil tersedu-sedu, “Kalau aku akan menyesali pilihanku...” tangis Lara kembali pecah, dan mataku berkaca-kaca.
Apa yang selama ini kuduga ternyata benar! Dan sekarang aku merasa kesal karena Kama tidak datang juga! Lara benar-benar minta diselamatkan saat ia menceritakan semua kisahnya padaku, dan saat dia meminta aku untuk menyampaikannya lagi kepada Kama. Oh, Kama... Wahai Tuan Sepatu Cokelat, di mana kamu?! Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa Lara masih mengharapkan Kama saat jelas-jelas pria itu mengingkari rencana kami – seperti seorang yang tidak bertanggung jawab. Bahkan hujan di luar sana sudah mulai mengecil dan hampir tidak ada. Langit sore yang harusnya meredup untuk menyambut malam, malah terlihat cerah dengan warna lembayung senja yang menghiasinya. Langit sore seolah merasa bersalah dan akhirnya memberi tuntunan jalan pulang, tapi Kama tidak juga datang!
Aku kembali memeluk Lara dan membelai rambut panjangnya. Tuan Haki kembali berkaca-kaca matanya, tapi kali ini ia berhasil menahan air matanya untuk tidak sampai jatuh.
Setelah beberapa saat aku memeluk Lara, barulah ia mengambil diri dan mengusap air matanya, “Oh, maafkan aku. Aku sungguh tidak apa jika kalian sudah membaca surat ini lebih dulu. Aku hanya menangisi isi surat yang ditinggalkan nenek. Tangisan ini sama sekali bukan karena kalian.”
Aku membalas ucapan Lara dengan lanjutan pengakuanku yang sempat terpotong tadi, “Lara, aku dan Tuan Haki memutuskan untuk membaca surat itu lebih dulu setelah Nyonya Erna sempat meminta surat itu kepada Tuan Haki. Nyonya Erna ingin sekali mendapatkan surat itu. Kami penasaran kenapa Nyonya Erna bersikeras menginginkan surat ini, dan kami takut sesuatu akan terjadi padamu.”
“Kenapa Nyonya Erna berlaku seperti itu?” Raut wajah Lara berubah serius.
Lalu kali ini, Tuan Haki yang menjawab, “Saat mengetahui isi surat yang sama sekali tidak menyinggung Erna, akhirnya kami mengira Erna menginginkan surat itu agar ia tidak kehilangan kepercayaan darimu. Ia takut kamu akan lebih percaya padaku karena aku telah menjadi orang kepercayaan nenek untuk memberikan surat berharga itu, yang padahal tidak ia ketahui juga isinya apa.”