Hari Rabu, hari ketiga Tuan Haki menginap di rumah Nenek Poppuri. Sementara Kama, entah ada di mana sekarang. Dia masih tidak bisa dihubungi. Hari ini, rasa kesalku yang menggebu-gebu kemarin berubah menjadi rasa cemas. Aku takut dia tersesat entah di mana dan kehabisan baterai untuk ponselnya sehingga tidak bisa menghubungiku. Lebih parah lagi, aku takut dia dicopet preman pasar atau diusir pemilik toko karena semalam menumpang tidur di lantai depan tokonya. Ah, tidak mungkin, bukan?
Kecemasanku itu terlalu liar, seolah Kama adalah pria yang ceroboh dan terlalu bodoh untuk bertahan hidup di kota kecil ini. Kalau dia tersesat, dia bisa bertanya pada orang-orang di mana toko bunga Poppuri, dan pasti ada satu atau dua orang yang akan memberinya petunjuk karena toko bunga yang kukelola ini cukup terkenal. Wajah Kama yang terlihat dingin dengan bentuk mata sayu juga sepertinya tidak akan menjadi incaran preman pasar. Kalaupun sampai ada preman yang berani mencopetnya, kakinya yang panjang pasti sudah bisa mengejar pencopet itu dan menangkapnya. Kama juga sangat tidak mungkin tidur emperan di depan toko, karena meski kota tempat tinggalku ini kecil, ada cukup banyak pilihan hotel di sini dengan tawaran harga yang sangat terjangkau. Lalu, di mana dia?
Aku pergi ke rumah nenek, berniat untuk membuka toko. Sudah terlalu lama aku tidak bekerja, khawatir banyak pelanggan yang merasa kehilangan. Saat aku tiba, keadaan rumah nenek sepi sekali, seperti tidak ada Tuan Haki di sana. Aku pun berkeliling sebentar untuk mencarinya sebelum membuka toko. Oleh karena Kama yang belum juga kembali, keadaan rumah nenek yang sepi ini membuatku takut Tuan Haki juga pergi. Masih ada rencana kedua yang harus kami coba, dan salah satu pemain untuk menjalankan rencana kedua itu adalah Tuan Haki. Entah hari ini atau besok, Tuan Haki harus menjalankan rencananya sebagai upaya terakhir yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan Lara dan Thomas.
Mula-mula aku mencarinya di lantai atas. Ada tiga kamar di lantai atas rumah nenek yang terbagi ke dalam satu kamar utama (yang ukurannya paling besar) dan dua kamar tamu (masing-masing ukurannya sama dan lebih kecil dari kamar utama). Namun, semenjak nenek pergi, lantai atas ini jarang sekali disinggahi. Sesekali aku datang hanya untuk membersihkan debu, tidak pernah menetap lama apalagi sampai menginap. Oleh karena itu, pembagian antara kamar utama dan kamar tamu sudah tidak berlaku lagi, dan kemarin, aku memberikan kunci kamar yang paling besar untuk ditempati oleh Tuan Haki.
Kosong. Tidak ada Tuan Haki di dalam kamar. Bahkan pintunya terbuka. Namun aku merasa sangat lega karena mendapati barang-barang Tuan Haki masih berserakan di sana. Akhirnya aku mencari di tempat lain, kamar mandi. Barangkali Tuan Haki sedang mandi dan aku hanya akan memanggil namanya dari depan pintu, sekadar untuk memastikan. Namun, hening. Tidak ada suara di dalam kamar mandi di lantai atas itu. Lantai atas rumah nenek kosong sama sekali.
Aku kembali turun, mencoba mencarinya di dapur. Barangkali Tuan Haki sedang membuat teh untuk sarapan pagi. Namun seperti yang mungkin kalian kira, dapur itu juga kosong. Tidak ada Tuan Haki di sana. Aku diam sejenak. Satu tempat yang juga belum kudatangi adalah halaman belakang rumah nenek. Tidak terlalu luas sebenarnya, hanya teras kecil yang memiliki sebuah meja kecil dan bangku kayu yang berdiri sejajar dan serasi berwarna cokelat.
Di hadapan meja dan kursi, terlihat dekat pemandangan sedikit lahan berumput yang ditumbuhi pohon bunga mawar dan bunga kamboja. Kedua pohon itu berbunga sepanjang tahun, jika sudah gugur satu maka akan segera mekar yang lainnya, persis seperti bunga anggrek bulan yang menempel di sebuah pohon salam di pojok halaman, pohon yang rimbun daunnya meneduhi hampir setengah lahan halaman. Tidak ketinggalan, batu-batu kali berukuran kecil tampak bergerombol rapi sebagai jalan setapak untuk menyiram bunga, juga untuk menanggulangi tanah yang becek sehabis diguyur hujan. Selain itu, batu bata merah yang sudah berlumut juga menancap kokoh di tanah sebagai pagar dangkal dari masing-masing pohon yang tumbuh di sana. Benar-benar tempat hijau yang sempurna untuk mengasingkan diri dari dunia luar yang abu-abu.
Saat aku membuka pintu menuju halaman belakang tersebut, barulah aku menemukan sosok pria yang selama ini kucari. Tuan Haki ada di sana! Tepatnya di depan pohon bunga mawar merah muda. Semula kukira dia hendak menyiram bunga, tapi ternyata aku salah.
“Sedang apa Tuan?” kedatanganku sedikit mengagetkannya yang sedang serius itu.
“Oh, Sa! Sebaiknya kamu segera mencari stroop wafel, croissant, bagel, atau choux untuk sarapan, karena aku akan segera membuat teh dari kuncup rosa gallica!”
Aku masih memegang gagang pintu saat mendengar ucapan Tuan Haki. Selang tiga detik kemudian aku tertawa, “Hahaha. Apa kita sedang ada di kota besar? Halo Tuan, ini hanya kota kecil yang menyediakan nasi uduk atau lontong sayur untuk sarapan. Sulit sekali mencari makanan yang Tuan sebutkan tadi.” ucapku tergelak-gelak, “Atau Tuan mau donat jinjing? Rasanya tidak kalah enak dari bagel.” Godaku kemudian.
Namun Tuan Haki malah menghampiriku dengan membawa segenggam kuncup mawar. “Tidak buruk juga idemu itu Sa. Boleh kue apa saja, asal bukan nasi uduk dan lontong sayur.”
Aku terkejut karena Tuan Haki menganggap serius candaanku. Pria itu kemudian masuk ke dalam rumah langsung menuju ke dapur, dan aku mengikutinya.