Lara berada di dalam kamarnya yang terlihat lengang. Hanya ada sebuah lemari pakaian dan meja rias minimalis dari kayu jati Jepara yang ditempatkan bersebrangan di sana – lemari pakaian di sisi dinding sebrang pintu masuk sementara meja rias di sisi dinding yang sejajar dengan pintu masuk. Sebuah tempat tidur yang memiliki rak buku di atas kepalanya juga terlihat sepi. Koleksi buku cerita milik Lara sudah tidak ada lagi di sana. Kini, semua buku dan barang-barang Lara yang lain sudah berada di dalam kardus yang tersusun rapi di dekat pintu, siap diangkut. Rupanya Lara sudah mengemas semua barang-barangnya untuk ikut berangkat ke Hawaii dari jauh-jauh hari sekali. Lara sudah berencana pindah yang sebenar-benarnya pindah, apalagi saat gitar klasik yang biasanya bersandar di sisi lemari itu kini sudah dikemas juga.
Rabu pagi, keadaan kamar yang lengang itu berbanding terbalik dengan kegiatan Lara yang justru padat sekali. Sedari langit pagi masih gelap, ia sudah menelpon Thomas berkali-kali, tapi baru mendapat jawaban pukul 05.46. Suara dari sebrang itupun disambut Lara dengan girang.
“Thomas! Akhirnya aku bisa mendengar suaramu!”
“Maaf, aku baru saja kembali dari lari pagi. Kenapa Lara? Ada apa?” Lara bisa mendengar kandungan rasa cemas di nada suara Thomas. Tentu saja pria itu merasa cemas, tidak biasanya Lara menelpon sepagi ini.
“Aku ingin bicara berdua. Ada hal yang sangat pentiiiing sekali yang harus kusampaikan.” Lara menekan kata ‘penting’ saat mengucapkannya agar Thomas sadar bahwa hal yang harus disampaikannya benar-benar sepenting itu.
“Ya, silahkan, bicaralah saja. Aku mendengarkan.”
“Bisakah kita bertemu saja? Aku akan meminta ijin pergi untuk sarapan pagi bersamamu.”
“Baiklah. Aku akan datang satu jam lagi.”
“Bagus! Terima kasih, Thomas. Sampai bertemu satu jam lagi!”
Thomas memang hampir tidak pernah tawar-menawar pada permintaan Lara. Ia hampir selalu bilang ‘iya’ pada setiap keinginan Lara. Apalagi jika Lara bilang keinginannya itu sangat penting/mendesak.
Lara segera bersiap, meski tidak banyak yang harus ia persiapkan. Selepas mandi, Lara duduk di kursi meja rias untuk mengoleskan pelembab dan tabir surya di permukaan kulit wajahnya. Setelah itu, ia meratakan bedak tabur tipis-tipis di kulit wajahnya yang kuning langsat. Sentuhan terakhir untuk riasannya adalah di bagian bibir yang ia oleskan lipstik berwarna merah muda nan lembut. Sementara rambut panjangnya dibiarkan terurai setelah ia sisir sebentar. Sungguh riasan Lara yang sederhana sekali, dan hampir tidak pernah berubah sejak pertama kali ia mengenal bedak dan lipstik di bangku kuliah.
Setelah bercermin sekali lagi untuk memastikan semuanya benar-benar selesai, Lara keluar dari kamar. Ia langsung menuju ruang makan, tempat di mana biasanya di sana sudah hadir Nyonya Erna dan Tuan Joe yang menunggu kedatangan Lara untuk sarapan bersama. Sejak kecil, Lara sudah terbiasa makan bersama keluarga di satu meja, di waktu yang teratur – sarapan, makan siang, dan makan malam. Khusus untuk makan siang, itu biasa mereka lakukan hanya saat hari libur di mana saat Nyonya Erna dan Tuan Joe sedang tidak bekerja.
Nyonya Erna bilang, tujuan dari membiasakan diri makan bersama keluarga di satu meja adalah untuk mengakrabkan hubungan antar satu-sama lain di tengah kesibukan masing-masing. Maka tidak jarang mereka sering bertukar cerita saat sedang makan. Lara kecil dulu juga senang bercerita tentang apa saja; teman baru di sekolah, tugas matematika yang sulit, kue pai paling enak yang dibuatnya bersama nenek, sampai daun bunga anggrek bulan nenek yang sering dimakan siput saat musim hujan tiba. Selain Lara, Tuan Joe juga punya porsi bicara di meja makan. Sayangnya ia lebih banyak mengeluarkan pertanyaan untuk Lara daripada bercerita, seperti; siapa nama teman barumu di sekolah?; soal matematika mana yang paling susah? Tunjukkan pada Ayah agar bisa kita selesaikan bersama; kamu beri isian apa pada kue pai itu?; apa pohon anggreknya masih bisa diselamatkan jika daunnya sudah dimakan hama? Pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkan oleh Tuan Joe akhirnya membuat Lara bicara semakin banyak.
Sementara itu, porsi bicara Nyonya Erna juga tidak bisa dilupakan. Berbeda dengan Lara dan Tuan Joe, Nyonya Erna lebih senang mengeluarkan informasi dan perintah di meja makan dibanding cerita atau bertanya tentang keseharian anaknya. Misalnya, pada saat Lara baru lulus SD dan akan mendaftar ke SMP, Nyonya Erna sudah lebih dulu berkata,