Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #29

BAB XII

Tentu aku terkejut! Tuan Haki masih berada di kamarnya, sementara aku sedang menyiram beberapa pot berisi tanaman suplir di teras, saat sebuah mobil tipe SUV crossover berwarna biru gelap berhenti dan parkir di depan rumah nenek. Dari dalamnya keluar seorang laki-laki jangkung berkulit putih yang memakai kaus berwarna moca yang dibalut boomber jacket hitam, dan memadukaan atasannya itu dengan celana jeans hitam. Sementara seorang perempuan berambut panjang juga terlihat keluar dari mobil. Aku kenal perempuan itu, Lara! Dia terlihat feminim saat memadukan kemeja polos hitamnya dengan floral a-line skirt setinggi lutut berwarna sama. Sementara motif bunga di roknya itu berwarna putih gading, serupa dengan sweater rajut yang diikatnya di pinggang.

Dengan wajah cerah sumringah Lara melewati gerbang masuk rumah nenek dan menyapaku, “Sa! Aku datang membawa tamu!”

Aku yang masih memegang gembor dengan air menetes di bagian corongnya, hanya bisa membalas sapaan Lara dengan senyum kikuk karena terkejut. Aku tahu betul siapa laki-laki yang mengikutinya di belakang, Thomas! Meskipun pakaiannya berbeda jauh dengan yang pernah kulihat di selembar foto yang diberikan Nyonya Erna, aku masih bisa mengenalinya lewat bentuk wajah bulat yang mulus tanpa jenggot ataupun kumis. Two blocks haircut bergaya quiff dengan belahan sisir ke samping yang masih sama seperti di dalam foto juga langsung membawa membangunkan ingatan pada memoriku bahwa pria itu adalah Thomas.

Mereka berdua sudah berada di dekatku sekarang. Lara merangkul bahuku untuk menyempurnakan sapaannya sementara laki-laki itu memberikan tangannya padaku, “Halo, Sarah. Aku Thomas.”

Buru-buru aku menaruh gembor dan mengelap tangan sembarangan pada bagian belakang celana kulotku, “Oh, hai Thomas. Sarah.”

Setelah itu aku langsung melirik Lara, meminta penjelasan atas semua keterkejutan ini. Bertepatan dengan itu, Tuan Haki yang mungkin punya suatu firasat dari kamar sana akhirnya datang menemui kami.

“Oh, aku tahu siapa kamu. Thomas, benar? Perkenalkan, aku Haki. Mari masuk.” Kedua laki-laki itu berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah nenek. Tinggal tersisa aku dan Lara di teras rumah.

“Jadi, Lara, apa ini?”

“Aku belum sempat menjelaskan semuanya pada Thomas. Oh, Sa, kupikir lebih baik bicara secara langsung dengannya tapi aku tidak tahu di mana tempat yang tepat, jadi, ya, kubawa dia kemari.” Lancar sekali perempuan itu bicara, sementara aku mendengarkan dengan cemas. Entah kenapa kedatangan Thomas membuat jantungku berdebar – seperti seorang buronan yang tertangkap di tempat persembunyiannya. Mungkin karena aku menentang hubungannya dengan Lara, cemas yang mendekam di dalam hatiku ini lebih seperti kecemasan karena rasa bersalah. Aku merasa bersalah karena hendak menggagalkan rencananya pergi ke Hawaii bersama Lara.

Belum sempat aku balas, Lara sudah melanjutkan bicaranya, “Tadi kami sempat berhenti di depan rumahmu tapi kulihat pagarnya digembok. Akhirnya kami kemari dan benar saja, kamu ada di sini.”

“Kalau begitu cepatlah bicara padanya.” Aku langsung pada intinya.

“Ya, aku akan segera bicara dengannya. Thomas itu orang baik, Sa. Kamu tidak perlu menunjukkan rasa cemas seperti itu.”

“Apa terlihat jelas?” aku semakin panik.

“Hahaha. Jelas sekali!”

Pagi ini Lara terlihat berbeda sekali dari kemarin. Ia lebih cerah dan sumringah, seperti habis membebaskan satu batu paling berat yang selama ini menjerat kakinya sehingga ia tidak bisa kemana-mana.

“Yasudah tunggu apa lagi? Sana masuk ke dalam!” aku mengusirnya agar ia tidak lagi melihat rasa cemas yang tergambar jelas di wajahku.

“Kamu tidak ikut?”

“Tidak, aku sudah membuka toko, tidak bisa kutinggal.” Aku melirik pada toko bunga nenek yang pada kaca pintu gesernya sudah tergantung papan informasi buka.

“Hmm, baiklah.” Lara menghela nafas, “Kamu punya kopi, Sa?”

“Kopi? Tidak. Aku tidak minum kopi.”

Lihat selengkapnya