Ternyata, mendung tidak selalu mendatangkan hujan. Awan gelap di atas langit itu, tidak selalu menjadi pertanda kalau air hujan akan jatuh ke bumi. Bisa jadi, dia hanya lewat untuk sampai di suatu tempat.
Sama seperti langit mendung di atas rumah makan tempat Lara, Thomas, Tuan Haki, Tuan Joe, dan Nyonya Erna bertemu. Tidak ada hujan yang turun, bahkan awan gelapnya seperti bergerak pergi perlahan dan digantikan dengan awan putih. Perubahan di atas langit itu juga seperti perubahan yang terjadi di dalam diri Lara. Kehadiran Kama di tengah-tengah mereka membuat rasa sedihnya meredam. Semuanya jadi terasa lega saja. Tidak ada lagi rasa tercekat di tenggorokannya, tak ada lagi aliran air mata yang sedari tadi mengalir tanpa suara di pipinya. Ia seperti baru saja mendapat kekuatan untuk bisa duduk tegak.
Gazebo nomor 5 di sebuah rumah makan sunda itu menjadi tempat pertemuan kembali antara Lara dan Kama yang sudah berbulan-bulan lalu berpisah. Ada rasa senang dan debar gembira di hati keduanya, meski sampai Kama duduk dan menjawab pertanyaan Nyonya Erna, Lara dan Kama tidak saling bertegur sapa dengan suara.
“Saya adalah teman Thomas di Kota Besar, tante, om.” Kama memperkenalkan diri lagi, “Maaf kalau saya mengganggu acara keluarga ini. Tapi saya rasa, ada hal yang sangat mendesak yang harus saya sampaikan sebelum terlambat. Jika tante mengijinkan saya bicara, saya akan memulainya sekarang.”
“Thomas?” Nyonya Erna malah balik bertanya pada Thomas. Dia terlihat bingung, tentu saja. Kedatangan seorang laki-laki asing di tengah percakapan keluarga, sudah sepantasnya Kama disebut sebagai laki-laki yang tidak sopan, betapapun mendesaknya hal yang ingin dia sampaikan itu. Maka pantas saja Nyonya Erna meminta pertanggung jawaban Thomas, Nyonya Erna ingin Thomas menjelaskan apa maksudnya membawa seorang laki-laki asing ke sini.
“Itu benar, ma. Aku dan Kama berteman di Kota Besar. Dan lebih daripada itu, biar Kama yang menjelaskan sendiri kepada mama dan papa.”
Belum sempat Kama diberi kesempatan untuk bicara, Nyonya Erna sudah menyela, “Lara, kamu juga mengenalnya?” Kini Nyonya Erna berpaling kepada Lara.
“Iya, bu. Dia rekan kerjaku dulu. Kama banyak membantu pekerjaanku di sana, dia orang yang baik sekali. Aku sangat bersyukur bisa bertemu dengannya.” Lara menjawab pertanyaan Nyonya Erna dengan mata yang berbinar dan penjelasan yang berlebihan. Sikapnya itu dengan mudah berhasil memancing pikiran negatif Nyonya Erna dan membuat amarahnya kembali meledak.
“Oh, saya mengerti sekarang. Jadi, kamu adalah laki-laki yang berhasil membuat anak saya membatalkan pernikahannya dengan Thomas?!” Sikap sopan Nyonya Erna menciut masuk ke dalam dirinya, digantikan oleh amarah yang kembali keluar meledak-ledak. Ia terlihat seperti seorang ibu yang sedang murka, matanya tidak berkedip saat mulutnya melontarkan kalimat itu ke muka Kama.
Dan tidak seperti yang dikenal Lara sebelumnya, Kama dapat dengan tegas dan tenang menjawab pertanyaan Nyonya Erna, “Ya, saya mencintai Lara, tante. Sama seperti tante dan om mencintainya. Saya...”
“Cinta?! Cinta macam apa yang malah menggagalkan niat baik sebuah pernikahan? Cinta macam apa yang membuat seorang anak durhaka kepada orang tuanya?!”
“Erna, tenanglah.” Tuan Haki berusaha meredam emosi Nyonya Erna. “Kamu bicara soal anak yang durhaka, tanpa sadar kalau kamu juga telah menjadi orang tua yang zalim? Orang tua yang memaksakan kehendaknya pada seorang anak, yang mana kehendak itu hanya akan membuat si anak bersedih selamanya. Apa kamu benar-benar memikirkan kebahagiaan Lara? Kalau iya, kenapa kamu tidak pernah bertanya apa yang benar-benar membuatnya bahagia? Apa semua yang menurutmu baik itu benar-benar baik untuk Lara? Apa semua yang menurutmu bisa membuat Lara bahagia itu benar-benar bisa membuatnya bahagia? Tolong buka sedikit hatimu, Erna.” Tuan Haki berusaha bicara dengan tetap tenang, “Apa kamu lupa kita baru saja mendengar apa yang sebenarnya diinginkan Lara dan Thomas? Sekarang, lihatlah dirimu. Kamu baru saja membuat mereka kehilangan kepercayaan terhadapmu. Kamu, Erna, yang membuat dirimu sendiri ditentang niat baiknya. Adalah karena kamu, tidak pernah mau mendengarkan suara anak-anak. Lalu bahagia macam apa yang kamu maksud kalau keinginan Lara dan Thomas saja tidak bisa kamu turuti?”