Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #33

BAB XVI

Lara, Kama, Thomas, dan Tuan Haki masih duduk di ruang tengah setelah cerita mereka berakhir. Thomas, Tuan Haki dan Kama duduk berjajar di sofa cokelat yang panjang membelakangi jendela, sementara Lara dan aku duduk bersebrangan di sofa cokelat lain yang berukuran single. Di antara kami masih terbentang meja kaca yang sama, begitu juga dengan vas berisi bunga mawar tempo hari yang masih cukup indah dipandang meski pinggir-pinggir kelopaknya sudah mulai berubah warna kecokelatan. Aku juga hanya bisa menyuguhkan teh putih panas untuk masing-masing kami, tanpa kudapan, karena aku memang jarang menyetok makanan ringan di rumah.

Ah, tapi toh rasanya tidak ada selera makan di raut wajah mereka. Bahkan sampai teh putih panas itu berubah dingin, tidak ada salah satu dari mereka yang menyeruputnya. Kami semua sibuk dalam diam. Ya! Selama dua puluh menit lebih setelah mereka menceritakan kepergian Nyonya Erna dan Tuan Joe begitu saja di rumah makan, keadaan di dalam rumahku ini canggung sekali. Padahal aku punya banyak pertanyaan untuk diajukan, tapi rasanya semua pertanyaan itu masih harus kusimpan.

Lihatlah! Tuan Haki sibuk membaca majalah Intisari edisi lama yang ditemukannya di rak kolong meja, Thomas sibuk dengan ponselnya, Lara menyender dengan mata terpejam sementara jari-jarinya sibuk memainkan sweater putih gading di pangkuannya, dan Kama sibuk menyorat-nyoret sebuah kertas dengan pinsil hitamnya. Aku sendiri, sibuk memperhatikan mereka yang sibuk!

Namun, jika kalian berada di posisiku saat itu, kalian mungkin juga akan berusaha memahami sikap mereka yang begitu. Terlihat jelas raut wajah kelelahan dari masing-masing mereka. Apalagi Lara. Saat aku hendak mengambil secangkir teh putih di hadapanku, cangkir yang kuangkat dari piring tatakan kecilnya mengeluarkan suara, dan itu membuat Lara meloncat kaget, seolah baru dibangunkan paksa dari tidurnya. Yang lain juga berlaku hampir serupa. Kegiatanku membuat mereka melepaskan kesibukannya dan menatapku secara bersamaan.

“Ah, aku sangat lelah, Sa. Jika kamu mengijinkan kami merepotkan sekali lagi, kami semua ingin minta ijin untuk beristirahat di rumahmu. Oh mungkin kecuali Thomas, kamu mau pulang?” Lara bertanya.

“Sepertinya aku akan ikut beristirahat di sini. Apa boleh, Sa?”

Aku tidak memiliki waktu untuk mencerna permintaan mereka. Tentu aku bersedia membukakan pintu kamar rumahku lebar-lebar untuk mereka. Bahkan aku menawarkan rumah nenek yang punya lebih banyak kamar luas dari punyaku. Tawaranku itu pun kemudian diterima oleh Thomas dan Kama mengingat Tuan Haki juga sudah menempati kamar di rumah nenek lebih dulu. Sementara Lara, tentulah dia memilih tetap tinggal bersamaku.

Sejak itu, kami berpencar dan sibuk masing-masing, sampai tidak terasa setengah jam lagi tiba waktunya makan malam. Sebagai tuan rumah, aku tidak mungkin mengabaikan perut para tamuku yang perlu diisi meski tanpa ada selera. Aku sudah memutuskan untuk pergi membeli beberapa lauk-pauk karena bahan makanan di rumahku sudah habis. Saat hendak menjalankan niatku, Lara mengajukan dirinya secara sukarela untuk ikut. Kemudian, saat tahu aku dan Lara akan pergi membeli makanan, Thomas juga mengajukan diri dan mobilnya untuk mengantar kami. Untuk sesaat aku berpikir ini terlalu berlebihan, karena niat awalku hanya akan pergi ke sebuah tenda warung makan yang hanya buka di malam hari, dan jarak antara rumahku dengan tenda warung makan ini masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama lima menit. Maka dari itu, aku menolak tawaran Thomas yang sudah bersiap-siap mengambil kunci mobil. Aku dan Lara pun pamit pergi kepada Thomas, karena hanya ada dia yang tersisa di rumahku saat itu, sementara Kama dan Tuan Haki berada di rumah nenek.

Di perjalananku bersama Lara, dia tidak banyak bicara. Raut wajah ceria yang beberapa hari lalu sempat ia pancarkan, kini redup. Aku mengerti, Lara pasti masih kebingungan dan merasa bersalah kepada Nyonya Erna dan Tuan Joe. Di dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah yang dilakukannya itu benar atau salah? Apakah yang dilakukannya itu berdampak besar kepada orang tuanya? Apakah ia masih bisa menjadi anak baik di mata orang tuanya meski ia sudah menentang keputusan besar yang diharap-harapkan orang tuanya? Lara benar-benar kalut, bahkan ia sempat beberapa kali hampir menabrak tiang lampu jalan yang berada di tengah-tengah trotoar. Beberapa kali itu juga aku menarik tangannya agar ia menyingkir dan sadar dari lamunannya.

“Lara, jika kamu sedang tidak sehat, lebih baik tidak usah ikut.” Pintaku.

“Ah, aku baik, Sa. Hanya sedikit kelelahan dan kelaparan. Hahaha,” Lara menyahuti permintaanku dengan canda gurau yang tentu tidak terdengar lucu untuk diucapkan dalam kondisinya yang seperti ini.

“Nah, karena itu, biar aku saja yang membeli makanan dan kamu silahkan menunggu di rumah.”

Lihat selengkapnya