Hari-hari selanjutnya, seperti yang kalian bayangkan. Sama juga seperti yang aku harapkan. Cerita Lara dan Kama berakhir bahagia. Sejak mereka bertemu, baru sekarang-sekarang ini aku melihat keduanya banyak menghabiskan waktu bersama. Apalagi karena sisa waktu cuti Kama sudah hampir habis, mereka harus berpisah lagi. Namun setidaknya, perpisahan mereka kali ini memiliki kejelasan.
Ya, kejelasan itu ada. Berkat restu sepihak dari Tuan Joe, Lara dan Kama akan menikah. Lebih cepat lebih baik. Tidak usah pedulikan omongan keluarga jauh yang masih hangat menggunjing pembatalan pernikahan Lara dan Thomas, karena pernikahan Lara dan Kama ini akan diselenggarakan secara tertutup saja. Tempatnya juga di kota ini saja, di rumah nenek saja. Tidak perlu mengundang kerabat jauh dari luar kota, tidak perlu pesta meriah di luar negeri juga. Sederhana saja, yang penting sah dan diakui negara, itu sudah cukup bagi mereka.
Maka, tidak banyak yang perlu dipersiapkan untuk pernikahan Lara dan Kama ini. Tidak perlu ada kue pernikahan bertingkat seperti impian Lara, tidak perlu ada upacara adat dari kedua belah pihak, tidak perlu ada wedding organizer atau dekorasi megah. Cukup gaun pengantin dan katering saja yang dipersiapkan. Setelah itu, selesai.
Kira-kira begitulah rencana pernikahan Lara dan Kama. Ya, semuanya baru rencana. Sebelum sampai ke tahap itu dengan tenang, Lara dan Kama harus mengantongi restu belah pihak lain terlebih dahulu, Nyonya Erna. Hidup Lara dan Kama tidak akan pernah tenang jika belum ada bendera putih berkibar di dalam hati Nyonya Erna. Apalagi, sejak awal Kama memang sangat mengkhawatirkan Nyonya Erna. Dia sangat tidak ingin menentang sosok ibu, terlebih, serangkaian rencana yang ia kira akan berakhir baik, nyatanya malah lebih buruk dari perkiraannya.
Di hari terkahir Kama sebelum pulang, ia berencana untuk mengunjungi Nyonya Erna. Kabar terakhir yang didapatnya dari Tuan Joe adalah kesehatan Nyonya Erna yang menurun. Maka sudah sepantasnya, dan memang sudah seharusnya, Kama datang kepada Nyonya Erna. Paling tidak untuk sekadar pamit saja, tak peduli Nyonya Erna mau bertemu atau tidak dengannya, yang penting dia sudah berusaha. Dan usahanya benar-benar tulus dari hati yang terdalam.
“Sudah siap Lara?”
“Sudah.” Lara menjawab pertanyaan Kama yang berdiri rapi dengan setelan celana jeans hitam dengan kemeja flanel berwarna biru gelap. Rambutnya disisir rapi tapi tidak klimis, dan wajahnya terlihat lebih segar karena cukup tidur semalam.
“Kamu tidak ikut, Thomas?”
“Tidak, Lara. Kurasa kalian pergi berdua saja. Itu lebih baik.”
“Ahh, kakak! Terima kasih!” Lara tersenyum lebar.
“Hahaha, lucu sekali. Kembali kasih, Lara!” Thomas menaggapi dengan malu.
Sifat ceria Lara memang sudah kembali sejak ia menyatakan kebebasannya padaku tempo hari. Apalagi di hadapan Thomas, Lara benar-benar sudah kembali ceria. Mereka terlihat akrab seperti pasangan adik-kakak sesungguhnya. Namun berbeda di hadapan Kama, mereka masih terlihat canggung satu sama lain. Apalagi saat malam di mana Kama melamar Lara, benar-benar tidak seperti lamaran pada umumnya.
Malam itu, seperti biasa setelah makan malam, kami – Lara, Kama, Tuan Haki, Thomas, dan aku – duduk santai berurutan di sofa cokelat di ruang tengah. Lima cangkir seduhan teh dari kuncup mawar jenis rosa gallica yang beberapa hari lalu dipetik dan dikeringkan oleh Tuan Haki turut hadir mengisi meja kaca panjang di sana, lengkap dengan kudapan kue kering yang dibawa Thomas sekembalinya ia dari berbelanja bersama Lara di pagi harinya. Di sana, kami berbincang ringan, menertawai guyonan Tuan Haki, mendengar tawa renyah Kama yang jarang sekali terdengar, melihat tawa ceria Lara yang sudah lama sirna, dan mengetahui selera humor Thomas yang ternyata dangkal sekali.
Lalu, tiba saat di mana kami kehausan karena banyak tertawa dan hendak meminum teh mawar yang asapnya mulai samar-samar hilang. Saat itulah, kejadian lamaran Kama untuk Lara terjadi. Lebih tepatnya, Lara menemukan sebuah cincin emas tenggelam di dalam air seduhan mawar. Ia sempat senyum-senyum sendiri karena merasa dijahili, tapi kami malah memasang wajah bingung yang kemudian membuatnya bertanya padaku. Namun, jelas aku jawab tidak tahu apa-apa karena memang aku tidak tahu sebelumnya.
Sedetik kemudian, dengan gagah Kama berdiri dari duduknya, meminta perhatian kami semua. “Saya berdiri di sini, karena saya adalah pelaku dari tenggelamnya cincin itu.” ucap Kama dengan serius. Tapi mungkin berbeda dengan yang diharapkannya, balasan dari ucapan Kama itu adalah gelak tawa dari kami semua.
“Hahaha.” Lara tertawa paling keras, “Ahh, Kama... Apa kamu terlalu banyak bergaul dengan Tuan Haki? Kalimat pengakuan apa barusan itu?”
“Saya melamarmu, Lara,” ucap Kama masih dengan wajah seriusnya. Lalu, dengan perlahan ia mengambil cangkir yang masih dipegang Lara, mengeluarkan cincin emas di dalamnya menggunakan sendok kecil, dan berkata lagi, “Kepada semua yang menjadi saksi pada malam hari ini, saya, Kama Candra berniat untuk melamar Lara Andini.” Kama mengulurkan tangannya kepada Lara, “Lara, maukah kamu menikah dengan saya?”