Tok...tok...tok...
Suara ketukan pintu dibuat oleh Tuan Joe untuk Nyonya Erna.
“Kalau kamu datang hanya untuk memberiku makan, lebih baik simpan saja untuk yang lebih membutuhkan. Aku tidak lapar!” Teriak Nyonya Erna dari dalam kamar.
Lara dan Kama saling tatap mendengar suara Nyonya Erna yang keras itu. Dari dalam diri Kama ada rasa ciut karena ia harus berhadapan dengan sosok ibu yang sedang marah. Namun ia menguatkan dirinya, juga Lara yang berdiri di sampingnya. Kama bertekad untuk tidak pulang ke kota kelahirannya tanpa mendapat restu dari Nyonya Erna. Dia sudah datang sejauh ini, sudah terlibat masalah keluarga Lara sedalam ini, sudah ikut andil dalam kemurkaan Nyonya Erna sampai begini. Tidak boleh ada rasa takut lagi, Kama harus berani menyelesaikan apa yang telah ia mulai.
“Ini aku datang membawa Lara dan calon suaminya. Aku tidak membawa makan, tapi Lara membawa sekotak kue kesukaanmu.”
“Calon suami?” Nyonya Erna bertanya dengan nada suara yang lebih rendah dan lebih pelan.
“Ya. Bolehkah aku masuk dulu? Biar kamu bisa lihat siapa pria hebat pilihan Lara.” Tuan Joe membujuk.
“Baiklah, buka saja pintunya. Aku tidak punya cukup tenaga untuk memutar kuncinya dari dalam, jadi kamu bisa masuk kapanpun, dan harusnya kamu tahu itu.” ucap Nyonya Erna menyindir.
“Hahaha, begitulah ibumu, Lara. Dia yang enggan makan, dia juga yang minta diperhatikan.”
Lara dan Kama hanya tersenyum. Dengan degup jantung yang mendadak jadi cepat, Lara lebih dulu menyapa Nyonya Erna.
“Halo, bu. Ini Lara bawa bika ambon kesukaan ibu.” Lara menyodorkan kantung kertas berisi sekotak kue bika ambon kepada ibunya yang masih berbaring membelakangi mereka.
“Bika ambon? Oh.” Nyonya Erna terdengar ketus, tapi mau.
“Sudah Lara potong-potong juga, loh, jadi bisa langsung ibu makan. Ibu pasti lapar, kan? Lara duduk di sini, ya? Mau Lara suapi?”
“Kamu pikir ibu anak kecil?” Nyonya Erna berbisik.
“Ehh, tidak bu. Yasudah, Lara simpan di meja saja, ya.” Lara menarik kakinya menjauhi tempat tidur.
Sementara percakapan itu terjadi, Kama memperhatikan sekeliling isi kamar Nyonya Erna. Ada satu pemandangan yang membuat hatinya gundah, sebuah kebaya berwarna kuning emas menggantung di dekat jendela, lengkap dengan kain batik baduynya untuk setelan bawahan kebaya tersebut. Sekilas melihat saja, Kama sudah langsung tahu kalau itu seragam yang harusnya dipakai Nyonya Erna untuk pernikahan Lara dan Thomas. Ya, kebaya itu masih ada di sana meski perjodohan Lara dan Thomas sudah resmi dibatalkan!
Tiba-tiba, ada rasa cemburu di dalam hati Kama. Tiba-tiba, perasaannya sensitif sekali, pikirannya melanglang buana jauh ke perkiraan-perkiraan pahit yang harus ia telan seperti rasa teh hitam buatan Tuan Joe yang terlalu pekat. Kebaya dan kain yang masih menggantung rapi itu, seperti pertanda kalau sebuah acara akan digelar, dan si pemilik kebaya akan memakainya saat menghadiri acara itu. Kebaya dan kain itu tidak dimasukkan ke dalam lemari, karena ia baru saja dilicin dan takut akan kusut lagi. Kebaya dan kain itu bahkan tidak ditutup plastik atau pelindung lain, karena takut Nyonya Erna akan kehilangan waktu bersoleknya hanya karena harus membuka plastik atau pelindung lain dari kebaya dan kainnya. Nyonya Erna benar-benar menghemat semua kesusahan karena acara yang ditunggu-ditunggunya itu akan segera dilaksanakan. Ya, SEGERA! Nyonya Erna seolah masih merasa kalau besok adalah hari pernikahan Lara dan Thomas. Begitu juga dengan besoknya, besoknya lagi, besok lusanya lagi, setiap hari adalah kemungkinan terselenggaranya pernikahan Lara dan Thomas sehingga kebaya dan kain itu dibiarkan menggantung di situ saja, agar jika hari H nya datang, Nyonya Erna bisa langsung menggunakan kebaya dan kain itu tanpa perlu menyetrikanya lagi, sudah siap pakai.
Suara Tuan Joe membangunkan Kama dari lamunannya, “Kama? Kamu baik-baik saja?”
“Ah, iya, om. Maaf, saya sedikit melamu, tadi.”
“Tak apa.” Tuan Joe menepuk-nepuk bahu Kama, “Aku tahu kamu gugup. Tapi tak apa, cobalah dulu.”
Kama mengangguk. Ia melangkahkan kakinya agar bisa sedikit lebih dekat ke tempat tidur Nyonya Erna yang masih berbaring membelakangi mereka.
“Halo, tante. Ini saya lagi, Kama.”
Nyonya Erna tidak menjawab. Kama melirik ke arah Tuan Joe dan Lara, lalu Tuan Joe hanya membalasnya dengan sebuah kode tangan untuk terus melanjutkan perkataannya.
Kama mengerti kode dari Tuan Joe itu, maka tanpa basa-basi lagi ia langsung melanjutkan kalimatnya, “Tante, saya ingin bicara sesuatu pada tante. Kemarin malam, saya telah melamar Lara, dan syukurlah dia menerima lamaran saya. Begitu juga dengan Om Joe, kami telah mendapat restu darinya. Tapi kami masih kekurangan satu restu lagi, yaitu restu dari Tante Erna. Maka dari itu saya berdiri di sini untuk meminta restu dari tante. Izinkanlah saya menikah dengan Lara.”
Nyonya Erna tidak menjawab, lagi. Kama jadi sedikit khawatir karena Nyonya Erna benar-benar tidak merespon kalimatnya dengan suara atau gerakan apapun, ia malah terlihat seperti seseorang yang sedang tidur.
Selain Kama, Tuan Joe dan Lara juga khawatir. Lalu akhirnya, tiba-tiba Tuan Joe menghampiri Nyonya Erna, duduk di tepi ranjang, “Erna...?”