Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat

Dhea FB
Chapter #37

BAB XX

Hujan turun deras saat Kama menginjakkan kakinya keluar dari stasiun. Sepanjang jalan tadi langit memang sudah mendung, tapi ia tidak merasa khawatir sama sekali. Baginya diguyur hujan itu tak apa, toh hanya air. Sampai rumah nanti tinggal bersi-bersih dan berganti pakaian, maka dia akan kering lagi.

Hujan yang deras membuat orang-orang enggan berlalu lalang, bahkan dengan kendaraan. Kama menunggu cukup lama untuk mendapatkan sebuah mobil angkutan kota yang akan membawanya ke rumah. Pakaian serta ransel gendong berwarna cokelat yang sudah basah kuyup, membuat ia memilih duduk di dekat pintu agar tidak membasahi penumpang lain.

Sesampainya di rumah, Kama langsung masuk ke kamar mandi. Ia mengguyur kepalanya dengan air keran yang menurut kepercayaan orang tuanya dulu hal itu perlu dilakukan agar ia tidak terkena flu. Setelah itu, barulah ia mengeringkan badan dan semua barang bawaan yang kehujanan termasuk sebuah wadah kedap udara yang berisi flashdisk di dalamnya, salah satu barang penting yang ia bawa tanpa sempat digunakan. Sementara pakaian yang juga basah, langsung ia gantung di dalam kamar mandi karena di luar sana masih hujan.

Kama sudah selesai sekarang. Ia sudah bersih, sudah kering, dan merasa lapar. Namun karena rasa lelah yang melanda, ia mengabaikan rasa lapar dan memilih untuk membaringkan tubuhnya di atas kasur saja. Selama beberapa menit ia hanya berbaring, tidak tidur, dan hal itu tidak membuat rasa lelahnya hilang. Apa mungkin karena ia lapar? Akhirnya Kama pergi ke dapur, mengambil dua butir telur yang masih ada di dalam kulkasnya, lalu membuat dadar telur. Kama menghabiskan makanannya tanpa butuh waktu yang lama.

Setelah itu, ia mencoba untuk bekerja. Ia berdiri di depan meja kerjanya yang penuh gulungan kertas dan alat tulis kantor. Kama mengambil sebuah kertas kosong dan pinsil 2B yang sudah diraut lancip. Ia mulai mencorat-coret kertas untuk membuat desain sepatu. Namun baru sebentar saja, ia meremas kertas yang berisi gambar belum jadi itu seolah ada kesalahan yang tidak bisa dihapus. Lara kemudian mulai dari awal, di kertas kedua yang ia ambil setelahnya. Namun hal yang sama terjadi lagi. Kama meremas kertas kedua yang bahkan baru berisi dua lengkungan garis panjang. Begitu terjadi seterusnya sampai berkali-kali, Kama mengambil kertas, mencoretnya sedikit, lalu meremas dengan kesal. Seisi meja kerjanya jadi penuh dengan bola-bola kertas berisi kegagalan dirinya dalam membuat desain sepatu.

Merasa kesal karena terus gagal, Kama akhirnya berhenti menggambar. Ia mengusap-usap wajahnya, lalu mengerang dengan keras. Beruntunglah hujan di luar sana masih turun dengan deras, sehingga para tetangganya tidak akan tahu kalau Kama sedang menderita sendirian.

*

Sementara di kota kelahiran Lara, Nyonya Erna sudah bangun dari tidurnya. Wajah pertama yang dilihatnya adalah wajah Thomas, anak laki-laki yang ia sayangi. Betapa bahagia dan sumringahnya wajah Nyonya Erna mengetahui hal itu, seakan baru bangun dari mimpi buruk dan menemukan kenyataan hidup yang indah.

“Oh, Thomas! Rasanya sudah lama sekali mama tidak melihatmu.”

Sementara itu Thomas terkejut, dan menunjukkan rasa khawatirnya kepada Nyonya Erna, “Bagaimana keadaan mama? Sudah lebih baik? Aku khawatir sekali saat tahu mama tertidur dengan sangat lelap sampai tidak bisa dibangunkan.”

“Mama sehat sekali. Seperti yang kamu lihat sekarang.” Nyonya Erna tersenyum pamer. “Di mana Lara?”

“Dia sedang memasak untuk mama. Mama mau makan, kan?”

“Ya, tentu. Kita akan makan sama-sama di meja makan.”

“Benarkah? Mama sudah kuat berdiri?”

“Ya, tentu! Kenapa tidak?”

Nyonya Erna ingin memamerkan kesehatannya sekali lagi kepada Thomas, ia bangun dari posisi tidur dan berusaha duduk di tepi ranjang. Kakinya sudah menapak lantai, tapi saat ia hendak mengangkat tubuhnya, Nyonya Erna jatuh terduduk kembali di tepi ranjang.

“Tuh, kan. Mama belum benar-benar kuat. Coba hitung berapa hari mama tidak makan? Sudahlah makan di sini saja.” Thomas mengomel.

“Hahaha, kamu perhatian sekali Thomas. Padahal kamu bukan siapa-siapa mama sekarang.” Tiba-tiba Nyonya Erna mengungkit lagi masalah itu. Ia mengejek Thomas yang telah membatalkan perjodohan dan membuat dirinya menjadi seperti ini.

Lihat selengkapnya