Tok...tok...tok
Tuan Joe mengetuk pintu kamar Lara, “Lara? Sudah bangun? Ini ayah.”
Lara yang sedang menyisir rambutnya menjawab pertanyaan Tuan Joe dengan tenang, “Ya, ayah. Masuk saja. Pintunya tidak terkunci.”
Tuan Joe pun masuk dengan pakaian rapi. Ini hari Sabtu, tapi pakaian Tuan Joe serapi seorang pegawai yang hendak pergi ke kantor.
“Ayah mau ke kantor?”
“Tidak. Ayah hanya bersiap-siap sebelum Kama datang. Dia jadi ke sini, kan?”
“Hmm, mungkin. Aku belum bertanya lagi, tapi dia juga tidak memberiku kabar.”
“Loh, bagaimana? Kita, kan, harus bersiap-siap untuk menyambutnya. Kalau kita sudah bersiap-siap sementara dia tidak jadi datang, bagaimana?”
“Memang ayah mau membuat persiapan seperti apa?”
“Ya seperti makanannya, berapa orang yang akan datang kemari? Kita kan harus menakar porsi masakan untuk orang-orang yang datang, untuk keluarganya.”
“Kama tinggal sendiri, ayah. Dia tidak akan membawa keluarganya.”
“Oh, ya? Orang tuanya?”
Lara hanya menggeleng. Meski jawabannya ambigu – antara tidak ada karena sudah meninggal atau tidak ada karena mereka tinggal berjauhan dengan Kama – Tuan Joe enggan bertanya lebih banyak. Ia takut anaknya berpikir ia terlalu banyak tanya dan tidak mempercayai pilihan anak perempuannya karena asal-usul keluarga yang tidak dipahami Tuan Joe. Maka setelah itu, Tuan Joe hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Baiklah, ayah akan bilang pada bibi untuk memasak seperti biasa saja. Toh kalau dia jadi datang sendiri, makannya tidak akan sebanyak porsi lima orang, kan? Hahaha.” Tuan Joe berusaha bercanda.
“Hahaha. Iya, ayah. Terima kasih, ya.” Lara ikut tertawa untuk menghargai usaha ayahnya, dan tidak lupa berterima kasih.
Sekitar pukul 10.00 pagi, pintu rumah Lara diketuk seorang laki-laki yang membawa ransel hitam dan bersepatu cokelat. Bajunya adalah kemeja tangan panjang yang digulung 3/4, berwarna merah marun, dan dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam yang panjangnya menggantung di atas mata kaki. Laki-laki itu membawa sebuah kantung kertas kecil di tangan kirinya, sedang tangan kanannya kembali mengetuk karena pintu belum juga dibuka.
Thomas yang saat itu berada di dapur untuk membuat kopi, mendengar suara ketukan pintu dan segera menghampirinya. “Sebentar.” Ia meminta siapa pun di balik pintu itu untuk menunggu.
Saat pintu dibuka, Thomas menyambut hangat sosok laki-laki yang sedari pagi tadi ditunggu kedatangannya oleh Tuan Joe itu.
“Kama! Silahkan...silahkan. Mari masuk. Ah, Papa Joe sudah menunggumu sejak pagi tadi.”
“Hahaha, apa saya terlambat?”