Lara Larasati

almiralth
Chapter #1

Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso

“Cinta selalu begitu. Bangun dan tidur dalam dekapan yang sama.” Farez menghapus kembali tulisan yang ada di kertasnya. Ditulisnya lagi kalimat itu. Ditatapnya lekat-lekat deret huruf di kertas yang Farez cengkram kuat. Farez memandangi rentetan huruf yang sudah bersemayam lama dalam ingatanku. Entah sudah berapa kali Farez urung untuk membalasnya, jemari Farez seolah beku untuk menuliskan balasan. Ketika sudah dengan segenap keluh Farez tahan dan ia berhasil menulisnya, selalu Farez hapus kuat-kuat, disingkirkan olehnya cepat-cepat dari hadapan bingkai matanya. Kertas ini akan selalu Farez simpan dalam, dengan lipatan dan lekukan yang sama, di tempat yang sama, selalu menunggu untuk dibuka, seolah Farez harus menyelesaikannya.

Tapi surat yang Farez tulis tak pernah selesai. Selalu berhenti di tengah jalan tangannya mengukir huruf. Ingin rasanya Farez bercerita pada semua yang nyata tentang seluruh kegundahannya, penyesalan atas betapa pengecutnya ia, dan betapa teganya semesta padanya. Lihatlah! Dengan sejumput surat yang Farez rangkai berulang kali, tak pernah sedikit pun ia menyentuh tanda titiknya. Tak pernah berakhir dengan sempurna. Mendarat pada spasi, berhenti, dan melipatnya kembali. Farez tatap sekali lagi kertas yang ia genggam itu. Mungkin memang tidak dengan menuliskan surat. Bukan dengan mengirim pesan, surel, bingkisan, buket, atau kudapan. Bukan dengan cara itu. Farez terdiam cukup lama.

Seringkali ia berpikir, bahwa betapa beruntungnya Bandung Bondowoso yang mampu menaklukkan Roro Jonggrang dengan harta dan kemampuannya meski dengan syarat yang sulit disanggupinya. Betapa iri hati Farez, bahwa ia meski bergelimang harta, tapi ia tidak memiliki kesempatan sempurna. Diketuknya ujung pena yang ia genggam. Bandung Bondowoso tidak berjuang sendirian. Ia punya pasukan tapi juga masih menemui kegagalan. Farez tertawa dalam hatinya.

Seorang manusia harus belajar dari gagal untuk dapatkan keberhasilan. Farez mengiyakan pemikirannya sendiri dan meyakinkan bahwa yang ia pikirkan adalah pilihan terbaiknya.

Hanya sebuah baka. Yang sanggup menghentikan keinginan seorang manusia.

——————————————

Farez melangkahkan kaki dengan gontai. Rapat direksi akan diselenggarakan besok. Percuma. Wanita yang amat ia cintai tidak akan datang. Keperluan mendadak. Pertemuan keluarga. Wanita yang ia cintai itu berhalangan hingga ia tidak bisa menghadiri rapat direksi yang dipimpinnya. Alih-alih hadir di rapat pagi, bagi Farez wanita itu nampak ujung rambutnya saja, Farez sudah amat bahagia. Layaknya dipantik, bara semangat Farez menyala. Farez terduduk di bangku lorong bagian keuangan kantornya. Menghela napas panjang. Satu-satunya motivasi Farez semangat bekerja adalah menikahi Raima. Gadis dengan rupa menyenangkan, perangai lembut, kepribadian yang tidak pernah membuatnya jengkel, adalah impian Farez. Sudah 2 tahun mereka saling mengenal. Raima tipe yang setia rupanya. Banyak pria yang menambatkan hati, tapi Raima acuhkan. Sekali Raima mencintai, ia akan sulit untuk melepaskan. Farez paham benar itu. Masalahnya, Raima sedang tidak mencintai siapa pun. Selama 2 tahun lebih mereka menjalani perkantoran ini. Semakin sering Farez bertemu dengan Raima, semakin pula ia jatuh cinta. Semakin Farez berusaha untuk melepas Raima, semakin Farez ingin memilikinya. Farez terpilih oleh Semesta. Menjadi pecinta dari seorang Raima. Masalah terbesar yang dimiliki Farez adalah tidak memiliki Raima. Dan, kini Raima belum bisa menaruh hati padanya. Kesimpulan, Farez dalam masalah besar. Farez mengembuskan napas. Melihat sekitar lorong yang hanya dia dan bayangnya yang ada di sana. Sunyi kadang membuat manusia semakin terimindasi. Membuat manusia tak mampu menjalani detik berikutnya. Sulit dipercaya. Seorang gadis bernama Raima tidak tertarik padanya. Apa yang tidak dimiliki oleh pria lain, dimiliki oleh Farez. Farez sanggup melakukan apapun itu sekalipun melukai dirinya, demi Raima. Farez mampu mengiyakan semua permintaan Raima. Dengan satu catatan bahwa, jika Raima mau. Farez bingung ia harus apa dengan perasaan yang semakin dalam. Ingin ia sangkarkan, tapi sebuah cinta terkadang cocok menjadi sebuah peliharaan. Ingin ia lepaskan, tapi sangkar adalah sangkar. Sama seperti hati. Akan hampa jika dibiarkan tidak berpenghuni. Farez ingin rasanya mengambil jarak yang panjang dari rutinitas abadi. Refleksi. Farez pernah membahas perkara rumit ini dengan Semesta sekali. Sebelum sudut ruang hampanya semakin sepi. Ia cakar terus-menerus celana jinsnya. Ketika atap-atap lorong mulai seolah berbicara padanya karena ia mulai kusut dengan pemikirannya sendiri, seorang wanita bermata bulat menatapnya. Aksanya yang bening menambah kesan jelita. Farez dengan sigap segera berdiri tegap. Senyumnya sumringah. Jamgan sampai reputasinya sebagai Direktur Utama menjadi buruk karena ia gugup menghadapi sebuah makhluk bernama perempuan.

Lihat selengkapnya