"....Tetapi Ratu Jin-a selalu berusaha tersenyum meskipun ia sering diam. Raja sering bertanya "Apakah sesuatu telah terjadi padamu?," tetapi sang Ratu menjawab, "Semuanya sempurna dan aku merasa sangat bahagia Raja," jawabnya melegakan hati sang Raja. Namun, Raja berusaha melakukan sesuatu untuk membuat tersenyum sang Ratu tercinta, tetapi sekali lagi sang Ratu mengatakan kepada sang Raja untuk tidak khawatir, "Itu hanya masalah waktu saja nanti pun paduka akan tahu dan terbiasa dangan keadaan hamba," sahut sang Ratu dengan tenang. Raja tentu saja mencoba hal lain untuk itu, dia mengundang pelawak ternama dari tempat jauh untuk menghibur Ratu biar bisa tertawa lebar dan bahagia. Juga beberapa permainan trik di istana dan beberapa prajurit pun ikut melibatkan terciptanya trik permainan tersebut...."
Raima menutup buku berjudul Kisah Ratu dari China. Ratu yang selalu dilayani oleh Raja, dicukupi kebutuhannya, tetapi ia tetap bersedih dan berdiam tanpa alasan yang jelas bagi Raja. Seolah Ratu tidak bisa menerima apa yang diberikan oleh Sang Raja.
Raima tersenyum dan heran. Menggelikan. Sebuah dongeng mirip dengan kisahnya. Hanya saja, Sang Ratu lebih beruntung dari dirinya. Raima memegang erat tisu di tangannya. Napasnya tak keruan. Ia seka lagi hidungnya. Ia usap lagi sudut matanya. Tak henti-henti ia sesenggukan. Raima mengepalkan tangannya. Sesulit itu untuk menghentikan air matanya. Raima ambil lagi dua lembar tisu di dalam tasnya. Tidak ada yang menyangka semua akan sesukar ini. Raima terdiam. Ia tarik napasnya perlahan. Caramel macchiato yang ada di hadapannya pun masih utuh. Sama sekali tidak ia sentuh. Semakin dingin diikuti dengan hujan deras di luar sana. Raima melihat ke sekelilingnya. Hanya dia dan seorang wanita berambut tergerai dengan terusan jingga yang duduk membelakanginya, di ujung pojok kanannya. Arah pukul satu. Raima melihat ke arah pemandangan luar kafe. Enam tahun lamanya ia telah meninggalkan Bandung. Semakin dingin saja. Rasanya semakin sendu saja. Bagaimana ia bisa menerima semua takdirnya? Bagaimana ia akan menjalani hidup seperti sedia kala? Matanya saja masih sembap. Mukanya masih merah. Tisu pun hampir habis. Raima melihat jam tangan miliknya. Masih pukul empat sore. Jam tangan ini. Sempurna dengan ukiran sulurnya. Berwarna cokelat. Rantainya telah memudar sedikit warnanya. Raima sangat ingat ketika diberi kado jam ini tujuh tahun lalu. Raima menaikkan sudut bibirnya. Tidak akan pernah ada keabadian di dunia ini kecuali eksistensi abadi itu sendiri. Raima membekuk lebih erat jaketnya. Diedarkan pandangannya, kafe itu tiba-tiba menjadi berisik. Wanita dengan terusan jingga itu sedang memarahi gadis kasir. Rambut panjangnya tergerai indah. Raima melihat punggungnya. Raima yakin ia mengenal wanita itu. Dilihatnya wanita itu dari ujung kepala hingga heels-nya.
“Baik nyonya. Maaf atas kelalaian pegawai kami.”, ucap manajer kafe itu. Gadis kasir hanya menunduk. Raima beranjak dari kursinya. Berjalan ke arah wanita berterusan jingga itu. Raima ingin memastikan rasa penasarannya. Raima melihatnya.
”Sasi?” Benar ternyata. Sasi. Suara dan gaya berpakaian yang masih sama. Tidak ada yang berubah darinya. Yang terpanggil spontan menoleh. Dan tercengang. Teman kuliahnya yang ia cari sejak dulu tanpa ada kabar dan kontak kini ada di hadapannya. Masih dengan aksa yang membelalak, Raima menarik lengan Sasi dan segera mendudukannya di kursi miliknya tadi. Berakhirlah kegiatan komplain beruntun.
“Apa kabar?” Sasi masih melihat mata remaja polos di mata Raima. Mata yang dulu sering digunakan untuk melihat banyak kejadian dan tempat-tempat indah. Mata yang selalu bisa membaca suasana hati Sasi. Mata yang tidak terlihat sedih tapi justru tertutup dengan selimut luka. Raima tersenyum. Buruk. Sangat buruk. Tapi yang terlihat justru senyum Raima semakin lebar. Raima mengangguk. Dan tersenyum kembali.
”Aku tahu, seorang Raima tidak akan pernah mengatakan kapan ia mengeluarkan air mata. Bahkan air mata bahagia sekali pun. Syukurlah kalau kau baik-baik saja.”, Sasi tersenyum menampakkan rentetan giginya yang sempurna. Baik-baik saja. Raima ingin tertawa dalam hatinya. Tapi ini bukan saatnya. Raima mengangguk.