Raima membuka pintu rumah dengan terburu-buru. Cukup keras. Disusul dengan langkah kakinya yang berisik merayapi ubin. Cepat hingga membuat seluruh barangnya terpelanting. Raima dikejar sesuatu. Sesuatu yang Raima benci tapi sangat ia ingini. Raima dikejar oleh keinginannya sendiri. Seolah berburu dengan waktu. Seolah tidak ada kesempatan kedua. Raima berkeringat, lupa menghela napas, langsung meneriaki ibunya.
“Bu! Ibu! Bulan ini apakah ada acara penting?” Raima lupa duduk, masih dengan keringat dan berdiri tegap. Seragam kantor juga masih lengkap. Heels-nya pun masih melekat, kaki Raima seolah tidak merasa pengap. Ibunya yang sedang menumbuk gula jawa langsung mengernyitkan dahi. Tangannya masih sibuk menghaluskan. Ibunya menggeleng lembut.
”Bu. Raima ingin menikah. Kalau bisa bulan ini juga!”, Raima mengatakan dengan sangat lantang. Bagai disengat pistol kejut, sakit dan kaget bercampur menjadi satu. Ulekannya langsung terhenti. Ditatap putri semata wayangnya yang sedang berdiri mengatur napas. Sang Ibu langsung meletakkan pekerjaannya dan beranjak menghampiri Raima.
"Duduk dulu. Di sebelah ibu. Tarik napas, tenangkan diri. Sampaikan dengan perlahan ke ibu apa maumu, alasannya, dan mengapa tiba-tiba.", Ibunya terdiam.
Raima bukan tipikal menggebu. Dua puluh tujuh tahun ibunya mengenal putrinya. Sang Ibu belum pernah menemukan situasi mendadak, spontanitas, dan keinginan yang tak terencana dari Raima. Putrinya itu adalah seorang perencana dan penuh rutinitas. Raima membantingkan tubuhnya ke kursi. Badannya yang terhempas tetap menimbulkan kesan tergesa.
“Apapun yang terjadi Bu, Raima ingin menikah!”, ibunya mengernyitkan dahi kembali. Bahkan sosok prianya saja belum dikenalkan. Belum tatap muka. Siapa dia, seperti apa wujudnya, latar belakangnya, kehidupannya, apa pekerjaannya, semua sama sekali tidak diketahui. Hanya keinginan.
Sang Ibu mengelus rambut panjang tergerai milik Raima. Ditenangkannya gadis di sebelahnya itu. Sambil tersenyum. Raima bahkan belum lima tahun bekerja. Belum paham apa itu rumah tangga. Cara mengelolanya. Bagaimana tidak? Selama ini Sang Ibu yang mengatur sebagian hidup Raima.
“Siapa dia? Kamu sungguh-sungguh mencintainya?” Raima terdiam. Mengangguk kencang-kencang. Ibunya heran. Anaknya belum pernah mencintai seseorang begitu dalamnya.
”Apakah ia pria baik-baik?” Raima diam. Lalu tersenyum kecil.
”Sangat baik bu. Bahkan terlalu baik.”, Raima menjawab dengan sangat yakin. Ibu kembali heran. Seyakin itu padahal tolok ukur baik itu bermacam-macam. Seolah pria ini baik dari segala aspek.