Miya bergeming di ujung jalan; menahan napas saat melihat sekelompok orang—para tetangganya—berkerumun di depan sebuah rumah. Bau sengit dan lembap kayu terbakar yang diguyur air samar-samar tercium di udara. Meski matahari bersinar cukup terik pagi ini, Miya malah merasakan ujung jemari tangan dan kakinya mendingin. Diikuti jantungnya yang berdegup makin tak keruan.
Miya menutupi kepalanya dengan tudung jaket dan menghampiri kerumunan dengan langkah-langkah kecil. Bobot kakinya terasa kian berat saat punggung-punggung di hadapannya tampak semakin dekat. Miya lantas berhenti sekitar dua meter dari mereka, lalu mengalihkan tatapan ke tempat yang jadi pusat perhatian warga sekitar.
Tiga hari lalu, saat Miya hendak pergi ke Bali, bangunan berlantai satu itu masih berdiri di sana. Rumah tipe 36 yang dindingnya baru dipulas cat warna hijau rumput seminggu sebelumnya. Ada pohon mangga kecil di samping kanan rumah tersebut—tepat di depan jendela kamar Miya.
Kini, yang Miya dapati hanya kerangka-kerangka yang menghitam. Sisa dari tragedi yang meluluhlantakkan kehidupannya dalam satu malam.
Sekilas, Miya dapat menangkap runtuhan di belakang rumah—bagian yang sebelumnya adalah dapur dan kamar mandi. Garis polisi melintang; meliliti tonggak yang ter- pasang di depan tempat kejadian perkara. Sementara itu, dua hunian yang mengapit rumahnya juga tidak lolos dari kobaran api, tetapi sebagian besar bangunan masih selamat.
Serta-merta, Miya meraih pagar terdekat untuk menopang tubuhnya yang nyaris ambruk. Kedua kakinya selemas helai-helai rambutnya yang tertiup angin. Pelupuk mata Miya yang awalnya berat akibat kurang tidur pun mulai memanas.
Miya memejamkan mata—ingin memastikan kejadian ini untuk kali terakhir.
Alih-alih melihat rumah mungil berwarna hijau, Miya tetap mendapatkan kerangka-kerangka hitam saat mem- buka mata. Napasnya kian berat. Dia segera membungkam mulutnya dengan tangan sebelum isaknya lolos. Miya mengandalkan tenaga yang tersisa dalam tubuh, berbalik dan kembali menuju taksi yang masih menunggunya di ujung jalan.
Miya tidak sanggup menahan dirinya terlalu lama.
Ketika berhasil masuk ke dalam taksi dan mengempaskan tubuh ke jok penumpang, Miya membiarkan emosinya tumpah. Di samping Miya, seorang wanita muda berambut lurus menatapnya dengan sorot duka dan prihatin. Matanya mengerling ke luar sebelum memberi perintah kepada sopir taksi.
“Blue Valley, ya, Pak.”
***
Pertengkaran terakhir dengan Mutia—sang ibu—masih melekat kuat dalam ingatan Miya.
“Mama harus berbuat apa supaya kamu membatalkan penerbangan malam ini, Miya?”
Miya, dengan ransel di punggung dan koper di salah satu sisi tubuh, membalas tatapan Mutia dari depan pintu.