Amaya baru merampungkan salat tahajudnya saat kabar buruk itu datang.
Ada hal penting—cenderung buruk—bila telepon rumah berdering pukul dua pagi. Amaya beranjak dari sajadah dan mengambil telepon nirkabel di atas nakas.
Ada hening panjang sebelum Ferdi—kakak dari mendiang suaminya—mengucap salam dan menyambung dengan pertanyanan, “May, ponselmu kenapa? Aku telepon dari tadi tidak diangkat.”
“Ponsel selalu dimatikan saat aku tidur.”
“Nyalakan sekarang.” Ada perintah dalam suara Ferdi.
“Ini tentang adikmu, Mutia. Rumahnya kebakaran.”
Setelah sambungan terputus, Amaya termenung sejenak. Apa dia tidak salah dengar?
Maka untuk memastikan, Amaya segera mengaktifkan ponselnya. Pesan-pesan singkat dan puluhan panggilan tak terjawab yang memenuhi layar sontak meningkatkan kewaspadaan Amaya. Dia menunggu selama beberapa detik sampai ponselnya berhenti bergetar untuk kemudian memeriksa satu per satu notifikasi yang masuk.
Dahinya mengerut. Detak jantungnya mulai berpacu cepat. Sebagian pesan memintanya untuk menghubungi Mutia. Amaya langsung mencari pesan dari Ferdi yang berada di urutan terbawah dan membukanya.