“Nanti aku ke sini lagi kalau….” Febby menggigit bibir bawahnya. Apakah ada kata-kata lain yang bisa menggantikan jenazah orangtua? Dia tidak sampai hati mengatakannya di depan Miya yang masih bersikap seperti zombi. “Kalau semuanya sudah siap. Kamu istirahat aja. Aku mau ambil makanan dulu.”
Miya menengadah begitu pintu tertutup rapat. Detik jam dinding mengisi keheningan kamar berdinding krem tersebut. Ketika merebahkan tubuhnya, Miya baru sadar kalau dia benar-benar kelelahan. Beberapa bagian tubuhnya terasa ngilu dan matanya berat.
Sampai sekarang, Miya masih belum mau percaya. Sayangnya, kenyataan perlahan-lahan berhasil merayapi dirinya. Bendera-bendera kuning. Tatapan kasihan dari kerabatnya. Kemudian sikap Amaya dan Febby yang membuatnya muak. Apa dia terlihat lemah di hadapan mereka berdua?
Miya meraih salah satu bantal dan membenamkan wajahnya di sana. Mengumpulkan lagi kekuatan yang dia bangun sejak menerima kabar buruk itu. Namun, seperti halnya percobaan pertama, semakin Miya berusaha untuk mencari sumber kekuatan, semakin besar bayang kehilangan melahap jiwanya.
***
Amaya, mengenakan setelan terusan berwarna hitam, sedang menunggu Miya dan Febby di samping tangga. Alih-alih menghangatkan suasana rumah, gumaman doa dan obrolan dari ruang tengah kian mempertajam aura sendu di sekitar Miya. Dengan hati-hati, dia menuruni anak tangga dan berusaha untuk tidak melirik ke samping kiri.
“Feb, bantu Ani bagikan makanan ke pelayat. Biar saya yang temani Miya,” pinta Amaya.