Siang itu cuaca menghangat seperti hari-hari biasanya. Cahaya matahari terasa hangat dikulit pada pukul sembilan pagi di bulan itu. Namun orang-orang tampak sangat terbiasa dengan cuaca yang sedikit dingin. Mereka selalu mengenakan kaos tipis dan celana pendek setiap harinya, kecuali di musim dingin akhir tahun. Para siswa pun sama, mereka mengenakan baju tipis namun tetap mematuhi aturan sekolah, khususnya siswa perempuan. Mereka tidak diperbolehkan mengenakan kaos yang tidak menutupi bahu dan rok ataupun celana yang panjangnya hanya diatas lutut.
Bel Sekolah Menengah Atas Horace Fieldston mulai terdengar mengelilingi bangunan-bangunan megah yang berisi bangku-bangku itu. Burung-burung yang tidur disarangnya pun terbangun lalu berterbangan keluar dari pepohonan yang rindang karena kagetnya. Mereka terbang kesana dan kemari tak tentu arah di atas bangunan sekolah itu. Lingkungan sekolah yang semula sunyi kini mulai menunjukkan aktifitasnya. Beberapa siswa mulai keluar satu per satu dari ruang kelas masing-masing. Mereka merenggangkan punggungnya setelah melewati mata pelajaran yang berat siang itu. Jam makan siang telah dimulai. Ketika mayoritas siswa menyantap menu makan siangnya, ada salah satu siswa yang berbeda disana. Gadis itu adalah anak bungsu dari keluarga Smith yang tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Keluarga kecil itu adalah keluarga menengah kebawah, berbeda dengan keluarga lainnya di kota itu. Meskipun begitu, semangatnya tak pernah padam. Ia mampu masuk ke sekolah favorit dengan beasiswa dan ia juga selalu menempati peringkat teratas di kelasnya. Teman-temannya tak memandang remeh akan prestasinya, mereka tak pernah menyinggung tentang kondisi ekonomi keluarganya. Namun ada satu hal yang membuatnya berbeda. Nama gadis itu adalah Aisyah Smith. Nama lengkapnya Aisyah Kimberly Smith. Seorang gadis cantik bermata biru yang lahir dari keluarga muslim Amerika. Kulitnya putih bersih, hidung mancung seperti orang Amerika lainnya. Namun tidak ada yang mengetahui bagaimana rambutnya dan warnanya. Ia selalu menutupinya dengan jilbab hingga menjuntai kebawah dadanya.
Aisyah tak pernah bersentuhan dengan lawan jenis sejak ia duduk di sekolah dasar. Orang tuanya mengajarinya dengan sangat baik tentang agama Islam. Teman-temannya di Sekolah Menengah Atas menghormati budaya dan agama Aisyah. Mereka mengerti saat Aisyah menolak dengan sopan ketika mereka menawari minuman beralkohol ataupun mengajaknya ke pesta. Teman-temannya juga menghormatinya ketika ia berpuasa di bulan Ramadhan. Mereka makan dan minum sembunyi-sembunyi dibelakang Aisyah. Ia hanya tersenyum menyadari itu walaupun ia sudah beberapa kali mengatakan tidak apa-apa pada mereka. Namun mereka tetap tidak enak hati padanya. Salah satu dari mereka bahkan melontarkan lelucon, “Aisyah, kenapa tuhanmu suka sekali menyiksa hambanya? Tuhanmu memerintahkanmu untuk berpuasa sebulan penuh. Itu sangat berat.” Mendengarnya, ia tersenyum lalu menjawab, “Yang aku lakukan seperti halnya membayar untuk asuransi hidupku. Bukankah kalian membayar mahal kepada pemerintah untuk asuransi jiwa? Namun aku hanya membayarnya dengan puasa dan sholat kepada tuhanku karena Ialah pemegang dan pengendali hidupku. Aku sangat mempercayai-Nya dibanding siapapun di dunia ini. Ialah sang maha pemelihara.” Teman-temannya mengangguk mengerti mendengar penjelasannya.
Beberapa menit yang lalu, bel jam istirahat telah berbunyi. Aisyah bersiap-siap untuk menyembah tuhannya di siang itu. Ia berjalan menuju loker tempat ia menyimpan mukenah dan Al-Qur’annya. Salah satu temannya menyusulnya dan mengimbangi langkahnya. “Kau mau sholat?” Aisyah mengangguk lalu berkata, “Iya, ini sudah masuk waktu sholat. Nanti aku menyusulmu di kantin.” “Kau tau? Pengumuman kelulusan sudah dipasang di mading. Ayo kita kesana. Mari kita lihat apakah aku berhasil mengalahkan peringkatmu.” Aisyah tersenyum pada kawannya itu, “Kau lihat saja dulu kesana, sekarang aku mau sholat. Bagiku berbicara pada tuhan adalah nomor satu.” Bethany menepuk pundaknya kagum. “Kau sangat taat, Aisyah. Semoga tuhanmu memberkahimu.”
Gadis itu melangkah menuju perpustakaan. Ia meletakkan peralatan sholatnya diatas meja lalu menyapu bagian sudut perpustakaan yang selalu ia gunakan untuk sholat. Kepala sekolah telah memberinya izin untuk melakukan itu. Seusai salam, terdengar suara ketukan pelan pada rak buku tak jauh dibelakangnya. Seperti biasa, pemuda itu selalu datang menghampirinya di waktu zuhur tiba. Aisyah menoleh dan terlihat seorang pemuda berambut pirang dan bermata biru sedang berdiri menyandar pada rak buku itu. Ia tersenyum sambil berkata, “Mau mendengarkan Al-Qur’an lagi?” Pemuda itu tersenyum lalu mengangguk. Ia berjalan mendekat dan duduk bersila beberapa meter didepan Aisyah. Ia mulai meraih dan membuka kitab suci itu lalu membacanya.
Ia membuka Surah Yusuf ayat 20, melanjutkan yang kemarin dibacanya. Suara gadis itu mulai terdengar. Suaranya pelan dan menyejukkan hati. Setelah ia membaca bacaan arabnya, ia mulai mengartikannya pada pemuda itu. “Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya. Dan orang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak. Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti.”
Ia berhenti ketika pemuda itu hendak bertanya. “Lalu bagaimana sikap ayahnya ketika mengetahui putra kesayangannya meninggal?” “Ia tak mempercayai bahwa putranya meninggal. Ia tahu persis watak ke-dua belas anaknya itu. Maka ia bersabar dan menunggu bantuan Allah.” Tak lama kemudian seseorang datang menghampiri mereka berdua. “Aisyah, Chris, kalian keluar dulu ya. Sebentar lagi ruangan perpustakaan akan disemprot. Petugas datang lebih awal minggu ini.” “Iya, pak. Kami baru saja selesai.” Mereka berdua bangkit lalu Aisyah merapikan peralatan sholatnya. “Tidak apa-apa. Masih ada waktu lagi besok.” Wajah Chris masih cemberut.
Pemuda yang seangkatan dengannya itu berjalan mengimbangi langkah Aisyah menuju kantin. Walaupun ia dan gadis itu tidak sekelas, tetapi ia tampak sering mengunjungi Aisyah. Diam-diam muncul perasaan suka di hati mereka masing-masing. Namun gadis itu menepis jauh-jauh perasaannya sendiri. Ia menutup pintu-pintu iblis yang sesekali menyeruakkan aroma wangi merebak merasuk jiwa. Itu adalah salah satu trik setan menggoda manusia. Ia menggoda manusia dari arah depan, belakang, kiri, dan kanan. Aisyah mengenali betul bagaimana setan mencoba menyesatkan anak-anak Adam dari arah depan. Setan senantiasa melontarkan bujuk rayunya ketika manusia berhadapan langsung dengan apa yang disukainya. Ia tidak membuatmu berpikir apa konsekuensi kedepannya karena sesungguhnya manusia sangat mudah menerima apapun yang terlihat didepan matanya. Kemudian, serangan setan dari arah belakang adalah ketika manusia selalu terjebak pada kenangan-kenangan buruknya di masa lalu dan membuatnya malu untuk kembali ke tuhannya. Setan membuat manusia berputus asa akan ampunan Allah karena sesungguhnya sifat setan adalah keputusasaan. Sejak ia dilaknat oleh Allah, ia sudah dituliskan akan kekal abadi di neraka. Jadi, setan merasa tidak ada guna hidup dan menyembah Allah.
Godaan yang kemudian adalah dari arah kanan. Setan memunculkan rasa bangga dan sombong pada siapa saja yang berhasil meraih impiannya. Ia sering kali mengubah perasaan rendah hati menjadi sombong. Lalu, godaan yang terakhir adalah godaan setan dari arah kiri. Seperti yang telah diketahui secara umum, setan mengajak manusia pada perbuatan dosa. Namun ia tidak langsung menyuruh manusia untuk melangkah satu kilo meter. Awalnya ia membisikannya untuk melangkah beberapa senti saja. Terus menerus hingga ia tak sadar bahwa ia telah berjalan satu kilo dan melakukan perbuatan dosa itu.
“Aisyah, sebelah sini!” terlihat seseorang melambaikan tangannya diantara meja-meja kantin. Ia dan pemuda itu segera menuju kearah meja itu. Bethany dan teman-teman lainnya sudah hampir menghabiskan makan siangnya. Kantin tampak ramai seperti biasa. Beberapa siswa terlihat kesana dan kemari membawa nampan makanan dan segelas minuman masing-masing. Nampan mereka ada yang masih kosong dan ada pula yang mengambil sepiring porsi makanan lagi. “Jadi, kau ikut makan siang bersama kami lagi, Chris?” Lucy memandang kearah pemuda itu. “Kita tidak mau menjadi bahan omongan lagi oleh gengmu karena ketua tim basket sekolah ini berkumpul dengan siswa-siswa kutu buku.” Ucap Bethany. Michael, sang ketua kelas yang memenangkan lomba tenis lapangan beberapa bulan yang lalu, mengangkat telunjuknya, “Aku tidak termasuk kutu buku.” Bethany merasa sedikit sebal lalu memukul kepalanya. “Aku tidak berbicara tentangmu.” Chris tertawa lalu berkata, “Tenang, aku sudah menjelaskan pada tim basketku bahwa aku tidak akan terpengaruh dengan kalian. Aku akan terus rajin berlatih basket dan tidak akan menghabiskan waktuku untuk membaca buku-buku tebal seperti kalian.”