Laraku Pilumu

Nurul Arifah
Chapter #2

Sekuntum Mawar di Taman Lavender

"Bu Elizabeth ada dirumah?"

"Iya. Tadi John yang membukakan pintu." Aisyah berjalan menuju dapur dan meraih kentang. Ia mengupasnya satu per satu dan memasukkannya ke dalam panci. Diisinya air lalu kompor dihidupkan. "Ma, aku mendapat nilai tertinggi di ujian kelulusan." Ucap Aisyah. Ibunya tersenyum mendengarnya. "Kau selalu menjadi yang terbaik. Mama selalu bangga padamu apapun yang kau dapatkan. Tetapi bukan itu fokus utama mama. Apakah Aisyah sudah sholat Ashar?" Gadis itu tampak menepuk dahinya. "Oh iya Aisyah lupa." Ibunya tersenyum lalu berkata, "Sana sholat dulu."

Ia mencuci tangannya lalu menuju ke salah satu ruangan yang mereka jadikan sebagai mushola sederhana. Mushola itu hanya berukuran 3×4 meter. Disamping ruangan itu juga dibangun kran air untuk tempat berwudhu. "Allahu Akbar" Aisyah memulai sholatnya. Tetesan air yang tersisa di dagu Aisyah menetes ke mukenah putihnya. Begitu ringan dan bening. Tetesan air itu seakan-akan melambangkan bentuk kasih sayang tuhannya yang maha pengasih dan maha penyayang. Ia membuka tangan-Nya lebar-lebar menyambut hamba-hambanya yang hendak kembali padanya. Ia selalu menanti mereka setiap saat. Aisyah adalah salah satunya. Ia memohon diberi ampunan dan perlindungan atas segala hal yang mungkin akan terjadi. Sangat sulit hidup di negara yang jauh dari budaya Islam. Ia dan keluarganya seakan-akan bagai lebah di tengah-tengah hutan pinus. Tidak ada asupan makanan dan tidak ada naungan untuk hidup. Ia harus bertahan diantara arus sungai yang dapat menghanyutkannya. Ia harus kuat tanpa diperlukan adanya perlawanan karena sesungguhnya Islam adalah agama yang aman. Dimana ada orang Islam, maka ia akan menciptakan keadaan yang aman untuk sekitarnya.

Seusai sholat, ia merapikan mukenahnya dan kembali ke dapur untuk membantu ibunya. Beberapa menit kemudian, masakan untuk makan malam mereka telah hampir masak. Aisyah mengeluarkan piring-piring dan gelas dari lemari kaca lalu menatanya diatas meja bundar itu. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka. "Assalamualaikum." Aisyah dan ibunya menjawab salam dari laki-laki setengah baya yang mengenakan setelan jas hitam. Suara beratnya yang khas selalu dirindukan di tengah-tengah keluarga kecil itu. Ia mengendorkan dasinya yang bertengger di kerah kemeja putihnya. Namun gerakan tangannya terhenti ketika melihat jaket laki-laki diatas tas putrinya. "Chris lagi?" Aisyah hanya mengangguk tak menjawab. Ayahnya tersenyum masam sambil berkata, "Apakah dia tidak melihat dengan jelas tanda-tanda penolakan dari putri kesayangan ayah ini? Dia sungguh tidak ada harapan." Ia mengecup lembut kening Aisyah. Gadis itu diam tak berkomentar apa-apa. "Masih ada diluar sana pemuda muslim yang lebih pantas untukmu, Aisyah. Ayah akan membawakannya kepadamu."

Jauh dari sepengetahuan Pak Smith dan Aisyah, sebenarnya ibunya sudah mengetahui sejak awal kalau diam-diam putri bungsuya telah memiliki rasa pada Chris. Namun lebih baiknya tidak membahas soal itu. Itu adalah pondasi agama yang paling utama dalam urusan cinta. "Sudahlah. Biarkan Aisyah fokus untuk kuliah dulu. Kita bahas itu nanti saja. Lagipula Aisyah belum terpikirkan kearah itu." Ucap ibunya. Ayahnya meletakkan tas kerjanya diatas kursi dan naik menuju kamar untuk mengganti pakaiannya. Semenit kemudian kakak Aisyah yang bernama Asma datang mengucapkan salam. "Pulang lebih awal?" Tanya ibunya. "Iya, ma. Ternyata tugasnya dikumpulkan minggu depan. Pesan ketua kelas telat masuk di handphoneku." Gerakannya terhenti juga ketika melihat jaket asing itu. "Pemuda tampan itu sungguh mengejar-ngejar adikku ya?" godanya pada Aisyah. Gadis itu berdecak lidah mendengarnya. "Dia tidak setampan itu." Asma menggerutu, "Aku tahu kok. Aku pernah melihatnya. Dia sangat tampan. Pemuda berparas Perancis." Ia menyenggol pelan lengan adiknya. "Sudah, sudah. Tidak baik membahas laki-laki." Lerai ibunya membawa semangkuk makanan yang baru masak. "Dia bukan laki-laki, bu. Tetapi masih anak-anak, sama seperti Aisyah." Asma tertawa dengan nada mengejek. Adiknya hanya memukul pelan lengan kakaknya.

Makan malam berlangsung seperti biasanya. Tidak ada pembicaraan yang terlalu serius. Usai makan Asma menuju kamarnya dilantai atas dan membuka buku perkuliahannya. Ia mengulang kembali mata kuliah hari ini. Sedangkan Aisyah bersiap-siap untuk mempelajari ujian tes masuk Universitas Harvard. Universitas itu adalah salah satu universitas paling bergengsi di dunia dan mempunyai pendapatan terbesar di antara universitas-universitas di seluruh dunia. Harvard juga salah satu dari universitas swasta di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat dan termasuk kedalam anggota Ivy League. Mereka adalah universitas-universitas yang paling prestisius di AS dan hampir selalu berada di peringkat teratas dalam daftar universitas top AS. Universitas itu adalah impian dari semua siswa di seluruh dunia. Mereka berlomba-lomba untuk belajar disana.

Aisyah duduk di meja belajarnya dan membuka laptopnya. Ia menyusuri web resmi Universitas Harvard. Hampir setengah jam ia fokus di web itu, lalu tiba-tiba terdengar suara pesan masuk di handphone nya. Diliriknya sekilas handphone yang tergeletak tak jauh di atas mejanya itu. Terlihat ada notifikasi masuk dari Facebook. Seorang pemuda yang tak dikenalnya mengirimkannya tiga pesan. Ia tak menghiraukannya dan melanjutkan kegiatannya.

Jam dinding dikamarnya telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia menutup laptopnya dan memejamkan kedua matanya yang terasa panas. Kemudian Aisyah merebahkan tubuhnya keatas kasur dan beberapa detik kemudian ia sudah tertidur lelap. Satu menit, dua menit, tiga menit, ia telah masuk kedalam alam mimpinya. Ada hawa hangat yang seakan-akan menuntunnya masuk lebih dalam ke alam itu. "Aisyah." Suara asing itu membuatnya membuka mata. Langkah kakinya terasa sangat ringan melangkah. Begitulah ia mengenali bahwa ia berada di alam mimpi. Yang dilihatnya pertama kali adalah tangan kanannya yang digenggam oleh seseorang. Laki-laki itu menuntunnya melangkah maju dan terlihat senyuman manis di bibirnya. Mimpi itu tak begitu jelas bagaikan layar film 90-an. Hitam dan putih. Ia dapat merasakan dengan jelas rumput hijau yang mengelus lembut kakinya saat melangkah. Ia juga dapat merasakan hangatnya telapak tangan pemuda asing itu. Tiba-tiba ia tersadar akan sesuatu, kemudian ia menghentakkan tangan pemuda itu dengan keras sehingga terlepaslah ikatan tangan mereka. "Ada apa, Aisyah?", tanyanya dengan nada lembut. Ia berdiri mendekat, sangat dekat. Gadis itu menunduk lalu berkata, "Ini salah." Laki-laki itu tersenyum mendengar respon Aisyah. "Tidak ada yang salah. Lihatlah." Pemuda itu meraih jemarinya lalu terlihatnya cincin emas melingkar di jari manisnya. Seketika ia terbangun ketika ibunya mengetuk pintu kamarnya. "Aisyah, waktunya sholat subuh. Ayo turun."

"Iya, ma. Aisyah sudah bangun." Ucapnya dengan suara yang parau. Sejenak ia teringat akan sosok pemuda yang ada di mimpinya. Ia tak begitu menghiraukannya dan melangkah menuju kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Sesampainya di lantai bawah, ayah, kakak, dan ibunya sudah menantinya di mushola sederhana itu. Kakak dan ibunya sudah mengenakan mukenah dan ayahnya mengenakan peci putih. Mereka duduk diatas sajadah mereka masing-masing sambil berdzikir pada Allah. Ketika Aisyah menggelar sajadahnya disamping ibunya, ibunya berkata sambil berbisik pelan, "Tidak biasanya Aisyah melewatkan sholat tahajud." Aisyah balas berbisik, "Semalam Aisyah belajar sampai larut malam." Diam-diam kakaknya mendengarnya juga. Kemudian Asma membalas, "Lihatlah, mama terlalu memanjakannya. Ia bahkan sampai terlewat sholat malam." Terlihat senyuman jahilnya pada Aisyah. Mendengar kebisingan dari wanita-wanitanya, laki-laki paruh baya itu kemudian berdiri hendak memulai sholat subuh pagi itu. Kemudian diikuti oleh sisa anggota keluarga yang berdiri tepat dibelakangnya.

Matahari masih tertidur. Cahayanya masih belum terlihat. Bahkan embun pagi masih baru saja memulai tugasnya, memberi asupan air pada tumbuhan-tumbuhan atas perintah Allah di tanah yang dipijak oleh orang-orang yang tidak pernah mengucapkan La ilaha Illallah di bumi Allah itu. Ia masih menunjukkan kasih sayangnya melalui tumbuhan-tumbuhan itu sehingga udara menjadi lebih segar dan dihirup oleh manusia-manusia yang tak pernah berterimakasih itu. Bahkan sang lautan dibuatnya geram. Setiap tiga kali sehari ia memohon pada Allah untuk menenggelamkan manusia-manusia itu. Namun Allah menahannya karena masih dilihat-Nya anak-anak bayi tak berdosa dan segelintir orang-orang Muslim yang menyembah-Nya diantara mereka.

Seusai salam, mereka duduk melingkar sambil memegang mushaf Al-Qur'an masing-masing. Seperti biasa, Aisyah dan Asma selalu berebut salah satu Al-Qur'an yang bersampul bagus. Ayahnya melirik mereka berdua lalu seketika mereka berhenti dan Asma menyerahkan mushaf itu pada adiknya. Ia mencibir pelan, "Anak kecil." Mereka bergantian membaca kitab suci itu dimulai dari ayahnya. Untuk sekali lagi, keluarga kecil itu menaburkan rahmat Allah di bumi cinta di antara kegelapan tanah Amerika itu. Walaupun tanah Mekah dan makam Nabi begitu jauh dari mereka, namun dirasakannya dekat sedekat urat nadi. Mereka masih dalam posisi yang sama hingga terlihat sedikit semburat cahaya matahari di kaki langit.

Pagi itu, mereka melakukan tugasnya masing-masing. Ayahnya telah siap dengan jas kerjanya, Asma dan Aisyah juga telah menyiapkan apa saja yang akan dibawanya ke sekolah. Kedua gadis itu membantu ibunya memasak didapur. Aktifitas di pagi hari itu seperti biasanya hingga mereka satu per satu meninggalkan rumah. Asma menaiki bus untuk pergi dan pulang dari kampusnya karena letaknya yang lumayan jauh dari apartemennya. Sedangkan Aisyah, ia hanya berjalan kaki ke sekolahnya. Ia tak lupa membawa payung dan jaket Chris bersamanya untuk dikembalikan. Dilihatnya pemuda itu yang sedang bersenda gurau dengan salah satu teman kelasnya. Ia berdiri membelakangi Aisyah. Terlihat jelas pundaknya yang bidang dari sisi belakang. Kemudian gadis itu menundukkan pandangannya dan berjalan kearah Chris. Lawan bicara Chris yang menyadari kehadiran Aisyah, ia segera memberi isyarat pada Chris untuk menoleh ke belakang. "Terimakasih." Ucap singkat Aisyah tanpa basa-basi sambil menyerahkan payung dan jaketnya. "Iya, sama-sama Aisyah. Tidak masalah. Kau tahu? Kemarin aku benar-benar kehujanan karena ayah tidak menjemputku. Dugaanmu benar. Tapi aku baik-baik saja." Terdengar gelak tawa darinya. Aisyah masih menunduk tak menanggapi basa-basi Chris. Pemuda itu sungguh pandai bicara. Ia memiliki banyak topik pembicaraan untuk membuat pendengarnya untuk tetap bersamanya. "Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Sampai jumpa nanti ya. Masih ada sesuatu yang aku kerjakan." Gadis itu pergi meninggalkannya. Ia bahkan tak sekalipun memandang kearah Chris.

Lihat selengkapnya