“Kembang itu telah layu dicampakkan langit, sebab Sang Agung di atas sana tak kunjung memberinya air.”
Begitu, bisa dikatakan diriku hampir serupa untaian kalimat tersebut, ketika kupandangi potret lamaku bersama kekasihku yang jahat. Kini ingatan menyakitkan itu kembali membayangiku kala ia merusak diriku berkali-kali di suatu sore yang merah kelabu.
Di bawah pohon langit di ladang bunga matahari, sebidang tanah warisan dari harta gono gini keluarganya, malapetaka itu datang padaku dan sering kali menimpa diriku di waktu yang sama. Ia mendapatkanku tengah terbaring lemah di tanah, di antara ratusan bunga-bunga matahari yang menguning pada hari, sebelum senja berlalu.
Aku sementara memandangi angkasa teruk yang terhalang oleh rimbunnya dedaunan. Mencoba bercakap pada Tuhan tentang seberapa besar dosaku yang telah keperbuat di dunia ini, karena kupikir diriku hampir sekarat dan tinggal menunggu ajal. Namun, aku masih saja mendengar suara burung-burung pipit berdecit tak keruan, seakan-akan mereka hendak mencibirku atau barangkali saja, mereka sedang menangisiku yang tampak menyedihkan.
Aku malu pada burung-burung itu, tapi beruntung, mereka bukanlah manusia. Apabila si burung-burung tersebut adalah manusia, aku dan keluargaku akan menanggung beban hinaan yang menakutkan dari segelintir orang-orang munafik, walaupun sampai hari itu tiba ragaku telah lama menjadi debu.
Saat itu aku sudah sangat muak, dan ingin sekali menusuk lehernya dengan setangkai dahan kering, yang kusembunyikan di dalam lengan kiriku. Tapi semuanya luntur saat ia memelukku erat, dan melemparkan senyumannya yang kurang ajar itu.
Beberapa kali sesudah mataku berkedip, lembaran busana yang menutupi bagian istimewa di atas tubuhku, telah lenyap bagai ditiup angin sumilir. Aku benar-benar tak dapat merasakannya setelah ia mencumbuku lembut.
Aku terus dipaksa untuk pasrah, sampai akhirnya diriku hancur berkeping-keping, saat ia meraih kamera usangnya dan seenaknya saja, mulai memotret tubuhku yang indah ini. Dan seperti biasa, ia tak pernah lupa untuk memperdayaku dengan segala kata-kata manisnya itu yang penuh dusta.
Sungguh sial, aku langsung bergeming tanpa mampu kulepaskan satu teriakan penuh amarah. Kucoba tuk deraikan air mataku, tapi hasilnya sama, aku masih tak sanggup untuk merengek. Lalu sepintas kudengar wangsit dari para penunggu gelap yang menyuruhku untuk segera pulang. Namun percuma saja, sudah terlambat, aku telah jatuh dan tenggelam dalam lara sembari tersenyum legit; laku seperti para orang-orang bebal, yang mudah saja dibohongi hanya dengan sebait sajak rayuan setan.
Malam itu, setelah aku membuka mata, aku terkejut, aku telah berdiri di depan rumahku sendiri, disadarkan oleh suara geledek yang menguasai angkasa, saat badai menerjang di waktu malam. Dan entah sudah berapa lama aku berada di situ, terpaku dengan pikiran yang buntu.