Sore yang kelabu, Ratmi tidak lagi memedulikan gerimis yang mengaburkan pandangan. Tangan kanannya memegang erat obor yang cahayanya berkebat-kebit hampir mati karena udara yang bercampur air, sehingga ia harus memelankan langkahnya yang terburu-buru. Bahkan rok panjangnya yang penuh bekas cipratan air kotor sudah diabaikan. Berkali-kali ia terseok di lumpur dan hampir terjatuh saat berlari-lari kecil menuju balai desa. Napasnya memburu dan telapak kakinya terasa kebas karena terlalu lama basah. Sungguh perjuangan yang menguras emosi, tujuan Ratmi hanya ingin memastikan bahwa dugaannya salah. Bibirnya berkomat-kamit dengan wajah sedih, terus berharap Manten Kemlamut tahun ini bukan Laras, putri semata wayangnya yang molek dan ayu.
Bagaimana tidak? Ritual tidak jelas seperti ini dilakukan setiap tahun, tapi kenyataannya mereka tetap saja susah, panen sering gagal, kehidupan masyarakat tidak berubah masih serba kesulitan dan sangat tertinggal mengingat letak dusun Kayangan berada di lembah yang di kelilingi gunung dan hutan, sehingga menyulitkan pemerintah melakukan modernisasi di tempat ini. Berulang kali alat berat dikirim hanya untuk sekadar membuka jalan, untuk memudahkan terlaksananya wacana pemerintah, tapi selalu saja alat-alat itu yang mengalami kerusakan. Seperti ada sesuatu yang menghalangi—atau memang kebetulan alatnya yang tidak mampu. Entahlah. Mereka selalu berhenti sebelum setengah jalan.
Dari kota, untuk mencapai tempat ini memerlukan waktu kurang lebih satu hari satu malam dengan berjalan kaki, kendaraan apa pun tidak akan mampu melewati medan yang teramat sulit seperti di hutan Kolojogo ini. Banyak bebatuan besar, jurang curam, dan akar pohon beringin dan jati yang mencuat tinggi membuat para pendatang kadang menyerah dan tidak melanjutkan perjalanan. Belum lagi banyaknya binatang buas yang seperti memblokade jalan. Sangat aneh.
Saking terisolirnya, mereka hanya menerima sedikit informasi dan pengetahuan dari orang-orang beruntung yang berhasil masuk ke daerah ini. Mereka mengerti sedikit bahasa Indonesia dan benda-benda yang ada di kota, misalnya saat ada pesawat terbang lewat di atas dusun mereka, mereka akan berlari ke luar rumah dan berteriak-teriak, 'Montor mabur! Jaluk Duite!'
Itu hal biasa yang sering terjadi.
***
Ratmi tiba di emperan balai pertemuan, melepas sandal jepit yang sudah disambung plastik dan hampir putus karena tidak mampu menahan lumpur berat yang menempel saat perjalanan tadi. Ia berlari ke gentong samping balai dengan menginjak tegel yang ditata berjajar sedemikian rupa. Membasuh kaki dari lumpur dan menyeka wajahnya yang kusut masai karena keringat dan air mata di sepanjang perjalanan tadi, Ratmi lalu meletakkan obor di dekat pintu sebelum ia masuk ke emperan.
Wanita itu berdiri di depan pintu kayu jati sederhana berwarna cokelat tanpa cat, di samping kanan kiri pintu terdapat jendela kecil yang sudah ditutup karena cuaca yang terus menerus gerimis. Lantai tegel yang dipijaknya terasa dingin dan lembab, ia menggosokkan telapak tangan sambil sesekali meniupnya agar terasa hangat. Sentir yang digantung di sisi kanan kiri pintu membuat suasana remang-remang dan sedikit menakutkan. Senja yang mengerikan baginya.
Ia menengok ke kanan kiri sambil menyipitkan mata, menajamkan pandangan menembus rimbunan pohon jati yang seperti meliuk-liuk menakutkan karena embusan angin. Sekilas tercium aroma kemenyan yang pekat, membuat bulu kuduknya meremang. Ia menggosok tengkuk sambil melirik ke arah sentir yang berkebat-kebit menciptakan bayangan di bawahnya.
Ratmi mengulurkan tangannya dengan gemetar, ujung jarinya memutih dan mengerut karena kedinginan. Ia menghela napas panjang untuk menguatkan hati, lalu perlahan mengetuk pintu.
"Selamat malam, Ki, saya Ratmi. Tadi Kang Maryo bilang Tetua Dusun ingin bertemu saya." Ratmi masih berdiri di depan pintu, kakinya bergerak-gerak gelisah, lalu tak lama seorang wanita tua membuka pintu dan tersenyum hangat kepada Ratmi. Mata sayangnya berkaca-kaca seolah merasa sedih melihat wanita yang kini berdiri sambil menggigil di depannya.
"Nduk Ratmi. Ayo mlebu ngomah kene. Gusti, kamu basah, gemetaran juga." Wanita tua itu terlihat panik, kedua tangan keriputnya mengusap lengan Ratmi. (Ayo masuk ke rumah)
"Saya baik-baik saja, Nyi. Saya ingin bertemu Ki Dukuh."
Wanita tua itu menghela napas berat. "Duduk dulu, Nduk."
Ratmi mengangguk pelan lalu mengikuti wanita tua itu berjalan menuju ruang kecil dengan satu meja panjang dan empat kursi yang terbuat dari kayu mengelilingi meja, lalu ia duduk di salah satu kursinya.
"Sebentar ya, Nduk, kupanggil Ki Dukuh dulu." Ratmi mengangguk dan wanita tua itu berlalu, masuk ke dalam ruangan lain yang tertutup tirai berwarna hitam. Sambil menunggu, Ratmi menggosok lengan untuk menenangkan diri.
Suara dehaman membuatnya kembali menoleh ke arah tirai hitam, seorang kakek tua memakai baju lengan panjang berwarna abu-abu dan celana gombrang berwarna hitam terlihat di sana. Di sela jari telunjuk dan jari tengahnya terdapat kerlipan api kecil yang mengepulkan sedikit asap. Kakek tua itu berjalan mendekat dan duduk di seberang meja. Tersenyum, menampakkan gigi ompong dan menghisap rokok klobotnya, lalu mengembuskan asap melalui mulutnya.
Aroma menyan dan tembakau langsung menyeruak memenuhi setiap sudut ruangan, menyengat hidung, membuat Ratmi harus menahan diri agar tidak mengernyit dan terbatuk-batuk karena tersedak udara berbau menyan.