Satu minggu yang lalu.
"Ras. Sudah selesai belum? Aku mau pulang!" Murni berteriak dari tepi sungai, memanggil Laras yang masih asyik berenang ke sana kemari sambil berdendang lagu berbahasa Jawa dengan suara merdunya.
"Laras!"
Gadis itu berhenti bernyanyi, lalu menatap heran ke arah Murni yang berdiri di tepi sungai dengan keranjang berisi pakaian yang telah dicuci di gendongannya. Di dusun Kayangan memang belum ada PDAM, pamdus, sumur bor, atau pun sumur gali. Yang memiliki sumur hanya para juragan yang berani mengeluarkan lipatan kertas bertumpuk dari bawah kasurnya untuk membayar kuli gali sumur dengan upah yang tidak sedikit. Jadi segala kegiatan bersih-bersih warga umum masih dilakukan di sungai.
"Sik, to, Mur, sebentar lagi. Aku masih ingin berenang." Ia kembali masuk ke dalam air, menyelam sebentar lalu kembali menyembulkan kepala ke permukaan air untuk bernapas.
Murni adalah anak gadis Warinah. Ia berusia sembilan belas tahun sekarang, tahun lalu ia beruntung tidak terpilih menjadi Manten Kemlamut. Bukan karena tidak cantik molek, tapi karena berdasarkan perhitungan tanggal weton dan juga perhitungan lainnya, ia tidak terpilih. Dan bisa dibilang ia beruntung.
"Aku mau pulang sekarang!"
Laras kembali muncul di permukaan air ketika mendengar suara murni yang seperti merajuk.
"Nanti ibuku bingung mencari. Lagi pula ini sudah sore ...." Murni menengok ke kanan kiri, lalu berbicara pelan. "Aku takut ada memedi," lanjutnya bergidik ngeri.
“Alah, Mur, sebentar lagi. Kalau kamu takut, pulang dulu sana. Aku masih mau bermain," jawabnya keras kepala.
Murni menggelengkan kepala sambil berdecak heran. Seumur hidup Laras selalu berenang, bahkan menyempatkan waktu hanya untuk berendam berjam-jam setiap sore, tapi tidak ada puasnya.
"Ya sudah kalau kamu masih mau di sini. Aku pulang dulu. Menjerit saja kalau ada memedi mata keranjang yang mengintipmu." Murni tertawa terbahak-bahak.
"Huh, ngomong apa kamu, Mur! Sana pulang dulu. Bilang sama ibu, aku masih mau berenang." Laras kembali berenang, santai tidak memedulikan Murni yang keheranan.
Dengan baju dan jarik yang basah kuyup, Murni berjalan pulang. Ia melangkah pelan melewati jalan di pinggir sawah yang licin dan sempit.
"Hem, Laras ... Laras. Kok ada orang sengeyel dia? Dibilangin bantah terus," gumam Murni, geram dengan Laras.
***
Laras masih asyik dengan kegiatannya di sungai seperti setengah jam yang lalu, tidak menyadari di balik semak-semak ada sesuatu yang sedang memperhatikan gerak-geriknya. Jakun si pengintip naik turun berkali-kali, mata awasnya menyorot tajam dan seringaian terus tercetak di sudut bibirnya.
Suara daun dan ranting kering yang terinjak membuat Laras kaget, ia menoleh ke arah asal suara. Gadis itu berhenti bermain air, tangannya disilangkan di depan dada untuk menutupi tubuh bagian depannya yang hanya tertutupi kemban jarik yang menempel di kulit karena basah. Ia menyipitkan mata, tidak merasa takut sedikit pun.
Laras berenang ke tepi seberang untuk mencari tahu. Untung Murni sudah pulang, kalau belum, temannya itu pasti akan mengatai Laras kurang waras karena mendatangi masalah, bukannya lari pontang-panting sambil menjerit-jerit menuju ke desa seperti para gadis lainnya.
Ia naik ke permukaan sambil berjalan pelan dan waspada. Di tangan kanannya menggenggam ranting yang ia temukan terbawa aliran sungai waktu ia menyeberang tadi. Mata Laras mendelik, siap jika makhluk mata keranjang yang bersembunyi di balik semak-semak muncul. Ia sudah memikirkan hal pertama yang akan dilakukannya adalah memukul kepalanya sekeras mungkin, setelah menendang selangkangannya terlebih dahulu. Itu yang diajarkan ibunya jika ada pria kurang ajar yang berani mengganggunya. Meskipun gadis dusun, ia harus pintar melindungi diri. Laras memang belum pernah melakukannya, tapi ia yakin akan melakukan itu dengan keras dan bersemangat.
Laras semakin dekat, tapi suara gemerisik tadi sudah tidak ada lagi. Dia menyibak tanaman Olokopok bercampur ilalang yang rimbun. Kosong. Menunduk, ia mengamati ada bekas rumput yang rebah, itu artinya ada orang di sini tadi, mengintip Laras dan Murni ketika ke dua gadis itu sedang mandi.
Kurang ajar!
Gadis itu menggeram marah sambil memukuli semak yang ada di depannya. Kemudian ia berdiri tegak, mengedarkan pandangan sejauh mungkin ke sekitar sungai, menyipit. Hanya ada suara kepakan sayap burung yang hinggap di ranting dan suara jangkrik yang menyambut senja.