"Jangan pernah muncul di depannya apa pun yang terjadi. Kamu harus menahan diri. Dia milikmu. Bapak yang menjamin."
Laki-laki setengah baya itu sedang duduk di hadapan seorang pemuda yang tengah menikmati makan malamnya. Pemuda itu mengangguk lalu meneruskan makan tanpa menjawab sepatah kata pun. Seperti biasanya. Dadanya sudah bergemuruh, tapi apalah daya, dirinya harus mengikuti perintah orang tuanya, atau semua akan berakhir tanpa hasil. Dalam pikirannya, ia terus membayangkan sosok cantik dan molek yang selama beberapa bulan terakhir diamatinya dengan diam-diam.
Sayang sekali. Batinnya tidak rela.
****
"Nduk, besok Ibu ikut buruh cangkul di kebun Juragan Barno. Berangkat pagi buta. Kamu masak ya besok." Ratmi bicara dengan Laras sambil melipat baju hasil cucian tadi pagi yang telah kering.
"Iya Bu, Laras sebenarnya kepingin memasak oseng kulit melinjo. Tapi Laras bisa mendapat kulit melinjo dari mana?" Bahu Laras melemas dan bibir tipisnya mencebik lucu.
Ratmi tersenyum hangat sambil menatap putri cantiknya.Mereka tidak memiliki pohon sendiri dan sering kali mendapatkan kulit melinjo dari hasil buruh mengupas melinjo. Bijinya dijadikan emping yang harganya sangat mahal, biasanya hanya digunakan pada saat acara tertentu saja, misalnya pesta pernikahan, atau untuk camilan saat pertemuan antar Tetua Dusun digelar. Dan biasanya kulitnya akan dibawa pulang oleh si tukang kupas karena tidak digunakan lagi.
"Sabar, Nduk, nanti kalau musim panen tiba, kita bisa ikut buruh kupas. Besok masak seadanya saja, ya."
Laras mengangguk sambil tersenyum.
Tanpa Ratmi dan Laras sadari ada dua orang yang tengah berjongkok sambil menempelkan telinga mereka pada anyaman bambu yang difungsikan sebagai dinding rumah. Mereka mendengarkan obrolan Ratmi dan Laras dari tadi. Salah satu orang yang memiliki tubuh tidak begitu tinggi dan berambut gondrong berbisik kepada orang lainnya yang berperawakan tinggi dan agak kurus.
"Jon, cepat kabarkan!!"
Ia berbisik pada Jono Rekan mengupingnya.
"Kabarkan apa?" Jono berbisik balik.
Ratno mendengkus kesal.
"Kabarkan pada Den Bagus, yang didengar kupingmu tadi!"
Ratno menggeram dramatis
"Oo itu...."
Jono manggut-manggut serius sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi jambang tipis.
"Apa coba?" Ratno mendelik ke arah Jono.
"Tentang Yu Ratmi mau buruh cangkul to?" Jono berkata dengan yakin sambil nyengir ke arah Ratno.
Ratno menepuk jidatnya sendiri sambil meringis. Ditambah melihat cengiran konyol Jono, membuatnya semakin kesal.
"Hiiiiih. Kabarkan pada Den Bagus, tentang si Laras kepingin kulit me-lin-jo!"
Ratno menekankan tiap suku kata agar Jono tidak salah menyampaikan informasi.
Setelah merasa yakin Jono sudah mengerti, ia segera menyuruh Jono berangkat dan ia tetap berada di tempat persembunyiannya. Mengawasi sampai esok hari menjelang.
***
“Begitu ceritanya, Den Bagus." ucapnya sopan mengakhiri ceritanya.
Sang Tuan yang diajak bicara mengangguk sambil tersenyum penuh arti, lalu mengibaskan tangannya santai membuat laki-laki yang tidak lain adalah Jono, lelaki itu pun bergegas undur diri untuk kembali menyusul Ratno.
Sang Tuan masih tersenyum sambil rebahan di ranjangnya yang besar, empuk, dan hangat. Kelambu berwarna putih terbuka sebagian menampakkan dadanya yang telanjang.
Ia berbaring miring, bertumpu tangan kiri. Senyum itu tidak lepas dari bibir tipisnya.
Tangan kanannya memegang buah Duwet yang berwarna kehitaman lalu menggigitnya sedikit. Terasa manis, seperti gadis itu, dan terasa asam seperti kisah asmaranya yang penuh ujian.
Sekali lagi ia tersenyum miring sambil membayangkan gadis pujaannya yang selalu membuatnya bermimpi indah di setiap malamnya.
***
"Laraaas! Laras...!" Ratmi berdiri di depan pintu sambil berteriak-teriak memanggil putri semata wayangnya. Ia menatap heran bawah pintu, raut wajahnya terlihat ngeri bercampur senang.
"Ada apa, Bu?" Laras berlari dari kamarnya. Rambut panjangnya berantakan karena baru bangun tidur.
"Kemari, Laras, ke sini to!" Ratmi masih histeris dengan penemuannya yang luar biasa mengejutkan.