Larasuka

Sarah lufiana
Chapter #1

Aku: Sebuah Akhir yang Baru Dimulai

Suara itu memecah keheningan di dalam telingaku. Mereka berteriak. Mereka menyalak. Mereka semua gaduh di dalam kepalaku. Aku bisa apa? Aku sekarang sendirian, dipojokkan oleh kenyataan. Aku sendirian, dibangunkan dari mimpi panjang. Dari sebuah harapan bahwa aku diperbolehkan mencicipi sedikit kebahagian yang Tuhan bagikan.

Aku tak bisa. Tak boleh. Aku tak akan lemah. Namun, aku sudah kalah. Aku lengah dan akhirnya berada jauh dari rumah, tempat yang kuhuni dengan nyaman di dalam diriku sendiri. Aku sudah lama pergi dari sana. Aku sudah lama tiada untuk diriku sendiri. Jiwaku sudah melalang buana jauh sampai tak akan nampak lagi oleh mata. Aku orang yang tak sama, meski tak pernah berbeda dari hidupku sebelumnya.

Aku sudah hancur sejak tangan-tangan kotor itu menjamahku. Aku sudah mati rasa sejak mereka menikmati setiap inci milikku. Aku sudah menjadi gila dan terancam kematian dari dasar jiwaku sendiri. Aku bisa menyakiti tanganku, mengiris lenganku dengan pisau dapur milik Ibu hingga darahnya mengaliri lantai kamarku. Itu menyakitkan. Namun, tak lebih menyakitkan dari suara gaduh saat pria-pria itu datang. Tak sesakit saat mereka mengoyak kewarasanku. Pisau tak lebih menyakitkan dari pada isi kepalaku.

Aku berdiri di antara angin yang menerpa rambut panjangku. Dulu aku sangat senang ketika angin menerbangkan rambut hitamku hingga berkibar-kibar di udara. Ayah mengatakan padaku itu cantik. Namun, sekarang yang tersisa hanya rasa muak menyesakkan. Angin berembus menerpa bak belati yang menguliti wajahku. Yang sesak adalah perasaanku. Aku selalu takut jika aku masih hidup, mungkin pria-pria itu akan datang lagi. Aku ketakutan sendiri sampai aku tak bisa bernapas. Paru-paruku rasanya menyusut kecil. Aku terengah-engah di setiap malam seolah aku ada dalam lomba lari maraton. Padahal aku selalu berbaring di kamar rumah sakit. Aku pikir aku mulai gila, rasanya terlalu nyata.

Ketika berada di ruang pengap dengan berbagai alat medis, perawat yang bertingkah ramah, dan alat infus yang menancap di tanganku, aku selalu berpikir betapa menyenangkannya mati. Aku selalu mencari cara bagaimana mati dengan cepat. Aku melihat ke sekeliling ruangan yang tak terlalu luas itu, melirik pada pisau buah kecil yang tergeletak dibawa Ibu. Benda itu mungkin mudah mengalirkan darah dari pembuluh nadiku. Atau mungkin vas bunga yang berbahan keramik itu bisa kubenturkan ke kepalaku hingga gagar otak dan akhirnya mati dengan cepat. Meloncat dari jendela mungkin bisa lebih mudah, mengingat aku dirawat dilantai lima. Namun, apa itu bisa membantuku mati dengan cepat jika para pria itu datang lagi? Kurasa tidak!

Mari cari cara lain. Atap rumah sakit mungkin solusi. Terjun dari gedung setinggi itu pasti membuatku mudah untuk mengakhiri semua rasa pedih ini. Ya, itu pasti. Aku akan pergi ke sana nanti jika Ibu mulai lengah, atau perawat yang sekarang tersenyum sok ramah padaku ini pergi bersama dokter tua yang menyebalkan. Dokter penuh uban itu terus mengatakan bahwa aku perlu meminum obat antipsikotik dan pergi ke psikiater setelah pengobatan fisik selesai. Katanya aku perlu itu semua untuk depresi pasca trauma atau apalah itu namanya, aku tak peduli. Tapi, aku tak mau. Bagaimana jika aku ke sana, lalu pria-pria itu datang untuk mengambil milikku lagi? Aku tak bisa percaya siapa pun. Tidak diriku, Ibu, Ayah, atau siapa pun yang bernapas di dunia ini. Semuanya tak bisa kupercaya lagi.

"Kamu bisa tidur setelah minum obat," kata dokter tua dengan senyum ramah, lalu dia dan perawat pergi dari ruanganku.

Akhirnya aku bisa bernapas lega setelah orang-orang dengan pakaian putih itu lenyap. Sejak kecil aku benci rumah sakit, aku benci dokter dan teman-temannya. Aku benci orang-orang sok ramah yang tersenyum pada orang sakit sambil mengatakan semua akan baik-baik saja, padahal mereka tahu pasien mereka sedang sekarat, bahkan akan segera mati. Mereka semua sudah mengambil orang berharga untukku, setelah mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Kenangan buruk selalu liar di kepalaku. Aku harus berusaha tak terlihat membenci mereka, tak terlihat sakit, agar cepat keluar dari ruangan sialan ini, pergi ke atap, lalu mati.

Lihat selengkapnya