"Tidak ada."
Angin menderu dari puncak gedung pencakar langit yang dijadikan rumah sakit umum oleh yayasan amal.
Seorang pemuda sedang kebingungan menghadapi situasi di hadapannya. Tak ada seorang pun di sana, hanya ada dia, dan seorang perempuan berambut hitam panjang yang tergerai sedang berdiri dengan ancang-ancang siap melompat. Masalahnya adalah perempuan itu berada di ujung dari atap gedung, kakinya tinggal selangkah untuk menginjak udara kosong. Mudahnya, perempuan itu sedang berusaha untuk bunuh diri.
"Ada, meski hanya satu, pasti ada orang yang mencintaimu di dunia ini. Jika memang nggak ada, kamu bisa mencintai dirimu sendiri." Laki-laki itu berkata semakin keras. "Yang paling penting adalah dirimu sendiri, kan? Turunlah, pegang tanganku!"
"Tidak ada," kata perempuan itu lirih dengan wajah pucatnya. "Tidak ada satu pun, bahkan diriku sendirip!"
"Tidak ada yang peduli padaku."
"Tidak ada yang mencintaiku."
"Tidak ada yang menginginkanku."
"Apa aku tidak pantas bahagia? Meski hanya sedikit?"
Enggak ... Jangan ... Kalau begitu aku akan ....
Dua bola mata terbuka dengan panik ketika pemiliknya merasakan guncangan hebat pada tubuhnya. Dia mengerjap pelan, berusaha melihat pemandangan lain yang ada di depan matanya. Pemandangan yang berbeda dari sebelumnya. Hanya langit-langit dengan sarang laba-laba yang mulai beranak-pinak.
"Ra ... Hara, bangun!"
Suara itu seketika menyadarkan laki-laki bernama Hara itu dari mimpinya. Sekarang dia tersadar seratus persen dengan pemandangan kamarnya sendiri, dengan seorang laki-laki lain memelototinya. Hara segera bangkit, duduk dengan tubuh penuh keringat, dan napas terengah-engah.
"Aku mimpi itu lagi," ujarnya dengan suara lemas.
"Kejadian dua tahun lalu, Ra?" Laki-laki dengan jaket denim oversize itu bertanya selagi Hara menyeka keringatnya. Dia adalah Zain, teman baik Hara sejak menjadi mahasiswa di universitas dan jurusan yang sama.
"Hmm," jawab Hara segera bangkit setelah menyadari dirinya basah oleh keringat, dan terlambat bangun.