Ini pertama kalinya. Benar-benar pertama kalinya untukku melihat dunia setelah terkurung seperti orang gila. Aku bebas menghirup udara yang juga dihirup manusia lainnya. Rasanya seperti aku menjadi manusia yang dimanusiakan lagi. Setelah dua tahun aku duduk, makan, tidur, dan terjaga dengan pengawasan ketat oleh orang-orang berpakaian putih yang kubenci itu. Akhirnya aku bisa melihat wajah-wajah yang berbeda. Selain wajah Ibu, Pak Han dan asistennya, serta wajah sahabatku, Amar.
Menyenangkan. Begitu pikirku ketika aku diperbolehkan menjalani kenormalan menjadi manusia seperti sebelumnya. Aku memakai sepatu baru yang Ibu belikan, aku mengenakan baju terusan berwarna biru yang Pak Han berikan sebagai hadiah kesembuhan, dan sebuah jepit rambut berbentuk hati yang Amar pasangkan di rambutku. Aku pikir aku siap menghadapi dunia tanpa penolakan. Aku kira semuanya akan mudah seperti ketika aku berlatih bicara dengan Pak Han di kamar inapku. Aku bayangkan semua semudah melukis senyum Ibu di kanvas dengan cat minyak baru yang dia belikan. Aku berekspektasi semuanya akan semudah itu.
Lalu, aku benar-benar keluar untuk melihat hidup yang sesungguhnya bersama Amar. Aku akhirnya memutuskan untuk menjadi pelajar. Ah bukan. Di usiaku ini, aku harusnya cocok menjadi mahasiswi. Aku, dibantu Amar, mendaftar di universitas yang sama dengannya. Dia belajar ilmu ekonomi, dan aku ingin belajar seni rupa. Sejak dua tahun dikurung di tempat sialan itu, aku belajar banyak hal untuk melepaskan kegilaan. Aku belajar menulis, melukis, bernyanyi, menari, berbicara dengan benar seperti orang normal, dan terus diajarkan untuk berpikir layaknya orang-orang. Karena katanya, pikiranku mulai melewati jalan yang tidak seharusnya.
Aku menurut sebagai anak yang baik sembari sesekali tetap mencari cara untuk bunuh diri yang paling cepat jika saja para pria itu datang lagi. Misalnya saat memegang kuas dan kanvas, itu tidak bisa membunuhku atau bahkan menyakitiku, jadi aku membuat coretan gambar diriku yang sudah mati. Jika para pria itu datang secara tiba-tiba, aku akan sembunyi dan mereka akan mengira aku sudah mati dengan lukisan berdarahku. Sangat cerdik untuk menipu—jika mereka tak menemukan aku lebih dulu.
Bersama Amar, dengan cepat aku bisa memakai status mahasiswa baru di universitas yang sama dengannya. Masalahnya bukan sepandai apa aku dalam ujian, aku sudah dua tahun enyah dari kehidupan. Seseorang yang Amar kenalkan padaku sebagai profesor di fakultas seni datang melihat lukisanku beberapa bulan lalu, dan dia memberiku kesempatan menjadi muridnya.
Harusnya aku sudah mati dua tahun lalu.
Hari ini cerah saat aku datang ke universitas bersama laki-laki jangkung itu. Dia memakai jas almamater dengan nama di dada kanannya bertuliskan Amar Baga Pradipta. Laki-laki yang sudah bersahabat denganku selama sepuluh tahun itu menjadi semakin tampan dan tinggi setiap detiknya. Aku bahkan tidak menyadari itu karena pikiranku sibuk dengan duniaku sendiri. Dia tersenyum padaku saat kami sampai di sebuah universitas dengan fakultas seni yang kuinginkan. Dia membawaku berkeliling saat masih pagi sehingga keadaan di sana cukup sepi. Katanya aku mungkin akan terkejut saat bertemu terlalu banyak orang, atau mungkin aku belum siap untuk itu?
"Billa," kata Amar membuatku menoleh. "Kamu tunggu di sini sebentar, aku pergi ke toilet dulu."
Aku mengangguk, dan Amar melesat hilang di antara lorong di fakultas seni. Aku berdiri sendiri dengan memandangi lukisan yang menempel di dinding. Amar terlalu lama, jadi aku berjalan pelan-pelan karena aku takut jika aku terus diam, maka pria-pria itu bisa datang tiba-tiba. Aku berjalan, kakiku bergerak, dan mataku bergerak juga tanpa melihat jalan. Aku bahkan tak melihat orang yang ada di hadapanku. Entah dia atau aku yang menabrak, yang jatuh adalah yang lemah. Aku hanya hampir jatuh karena aku tidak lemah. Jika aku lemah, mana mungkin aku berani mencoba mati?
"Maaf," katanya.