Aku sedang berjalan bersama Ibu ketika malam menunjukan pukul sembilan. Kami baru saja akan makan sesuatu yang pedas, Ibu bilang itu bisa menghilangkan stress dari rutinitas kerjanya. Tapi, itu tidak berguna untukku yang sudah lama gila. Makanan pedas? Bahkan seorang Pak Han tak akan bisa mengubah pikiran orang yang sudah terlanjur gila. Meski bisa sedikit disembuhkan, tapi tak akan benar-benar kembali seperti semula.
Di sana ramai sekali, jadi aku memutuskan untuk pulang lebih dulu tanpa makanan itu. Aku benci ramai, benci bertemu orang-orang, dan aku benci melihat Ibu memaksaku melihat dunia dari sudut pandangnya. Ibu selalu mengatakan tak ada apa-apa di luar sana, tak ada bahaya yang bisa mengancamku lagi karena dia ada bersamaku. Itu hanya omong kosong. Aku tidak percaya. Aku selalu melihat bayangan para pria itu di sudut mataku, meski aku sudah mencoba dengan keras melupakan kejadiannya di bawah pengawasan Pak Han. Semuanya belum benar-benar hilang dari kepalaku, kecuali jika aku mati.
Ibu masih mengantrikan makanan pedasnya di pedagang kaki lima. Aku beringsut dari genggaman tangan Ibu, lalu berjalan sendiri kembali ke rumah. Jaraknya tak jauh, jadi aku berusaha berani. Lagi pula jalanan cukup sepi, dan hanya di isi oleh rumah-rumah tetangga. Semuanya aman. Aku bisa pulang sendiri dengan selamat. Dan, misalkan saja secara tidak sengaja para pria itu mendatangiku di bawah pohon-pohon rimbun, maka aku akan memukulkan batu di kepalaku hingga mati. Banyak batu di pinggir jalan yang mudah digunakan. Atau lebih mudahnya, aku bisa melompat ke jalan yang kulewati, cukup banyak mobil yang lalu-lalang. Akan lebih mudah mati dengan cara itu jika saja para pria itu datang. Mereka selalu abadi di pelupuk mataku saat aku kehilangan kesadaran, jadi aku harus selalu hati-hati.
Dahulu, jalanan ini sering kulewati bersama Ayah untuk pergi ke rumah Amar. Sekarang, aku tinggal satu blok dengan laki-laki jangkung itu setelah aku dan Ibu pindah dari rumah lama. Rumah lama yang tak ingin kuingat karena terlalu banyak darah yang membasahi lantainya, dan terlampau berisik isakan tangisku sendiri yang kuingat saat itu. Sedemikian aku mencoba melupakannya, maka semakin parah ingatan itu kembali. Aku dan Ibu pindah ke rumah yang dekat dengan rumah keluarga Amar. Selain karena kami sudah kenal sejak lama, alasan lain adalah karena jaraknya ke rumah sakit jiwa cukup dekat. Rumah sakit jiwa yang sebelumnya kutinggali selama hampir dua tahun.
Jalanan yang sepi ini membuatku ingat sosok Ayah. Aku rindu padanya, sangat rindu sampai dadaku rasanya sesak. Aku selalu ingat senyumnya yang teduh, dan itu membuatku merasa damai dan nyaman. Sekarang, setelah dua tahun aku merasakan diriku hilang arah setelah kepergian Ayah dan kejadian sialan itu. Aku tak mau mengingatnya, itu membuatku gila. Aku tak ingin mengingatnya, tapi itu selalu saja menghinggapi kepalaku. Aku bisa apa? Kau tahu, sulit sembuh dari trauma masa lalu, dan aku sudah cukup hebat dengan bertahan hidup selama dua tahun bersama penderitaan tak kasat mata itu.
"Billa," kata suara yang berdengung di telingaku. "Ayah membelikanmu boneka. Bagaimana? Cantik, kan?"
Suara Ayah dengan jelas memenuhi telingaku. Ayah ada di sana, di ujung jalan dengan lampu yang redup. Dia tersenyum padaku. Dia membawa boneka kelinci milikku yang dulu dibelikannya di pasar malam. Dia memakai kemeja yang sama dengan yang dia pakai saat hari ulang tahunku yang ke sepuluh. Dia juga melambaikan sebatang coklat kesukaanku di tangan kirinya. Ayah ada di sana, di ujung jalan, dan menungguku datang untuk menonton pertandingan sepak bola kesukaannya. Aku harus mendatanginya. Aku berjalan menuju padanya dengan senyum merekah. Ayahku. Ayah yang kurindukan ada di ujung jalan itu dengan sangat nyata. Aku menghampirinya tanpa melihat dunia sedang menjalankan waktu dengan detikannya terdengar dari arlojiku. Tapi, siapa peduli? Aku hanya ingin Ayahku.
Lalu aku melihat cahaya yang sangat terang dari arah kanan, dua bola lambu yang bergerak. Mataku silau, Ayah menghilang dari ujung jalan, dan aku melihat kematianku mungkin saja segera datang. Ciiitt ... mobil itu berdecit tepat lima centi dari lututku. Suaranya membuat napasku sesak, pikiranku menjadi kacau, keringat dingin merayapiku, dan yang jelas aku kehilangan Ayahku lagi. Aku ketakutan setengah mati ketika lampu dari mobil itu menyorot wajahku, dan pengemudinya keluar. Aku pikir itu pasti para pria yang akan mendatangiku karena aku tidak mati ditabrak mobilnya. Mereka sengaja menginjak rem mobilnya agar aku tak mati sehingga mereka bisa menjamahku seperti dua tahun lalu. Aku menjadi ingat semuanya. Kejadian itu berputar lengkap di kepalaku sehingga aku berteriak saking takutnya.
"Hei," lirih suara yang berada dekat denganku, dia tinggi dan mengenakan sepatu mengkilap—hanya itu yang bisa kulihat. Aku menutupi kepalaku dengan tangan, menekan tengkorakku, menarik rambutku, dan mengusap-usap wajahku dengan panik. Seseorang itu masih berada di sebelahku, dan dia mengamatiku. Aku ketakutan setengah gila, dan tak tahu harus bagaimana.
"Kamu ... nggak apa-apa, kan?" Dia bertanya lagi dengan tangannya mencoba menarik tanganku dari kepalaku. "Maaf karena aku nggak hati-hati. Kamu mau ke rumah sakit?"