Laki-laki dengan kaos hitam polos yang ditutupi seragam khas mahasiswa teknik itu tengah menjambak-jambak rambutnya sendiri. Dia memukul kepalanya beberapa kali karena sedang berusaha mengingat sesuatu. Dia bahkan menggertakkan giginya karena kesal dengan dirinya sendiri. Dia tak memperhatikan sekitar, dia hanya fokus pada pikirannya yang bercabang setelah kejadian semalam.
"Kenapa, Ra? Diam aja dari tadi." tanya Zain ketika dia dan Hara sedang duduk di kafe dekat kampus seusai mata kuliah pertama selesai.
Hara diam. Wajah perempuan yang dia temui semalam tak mau enyah dari pikirannya. Laki-laki itu ingat dengan jelas setiap lekuk wajah perempuan yang dia rengkuh dua tahun lalu, dan guratan ekspresi perempuan yang dia temui semalam. Mereka sama. Akhirnya Hara menemukannya. Dia sekarang menjadi tak tenang karena kehilangan jejak perempuan itu lagi tanpa ia sempat bertanya nama.
"Bawa laptop, nggak?" tanya Zain lagi mengganggu konsentrasi Hara dari mengingat setiap inci kejadian dua tahun lalu, dan wajah perempuan itu. Laki-laki itu membuka tasnya, menyerahkan laptop berlogo buah apel. Hara tak banyak bergeming, bahkan menatap Zain saja tidak. Laki-laki itu kembali pada pikirannya.
"Kenapa sih, Ra?" tanya Zain lagi.
"Enggak."
"Jangan-jangan masih mimpi tentang perempuan dua tahun lalu itu lagi. Iya, kan?" tebak Zain sedikit mengenai objek yang dipikirkan Hara. Zain memutar bola matanya jengah, tak habis pikir. "Kamu tuh ganteng, mirip artis korea yang setiap datang ke kampus cewek-cewek teriak oppa-oppa sarange. Banyak yang ngantri jadi pacarmu, tapi malah masih terpaku sama perempuan yang bahkan nggak kamu tahu namanya. Kamu nggak waras, Ra!"
"Bener," jawab Hara menatap Zain tajam. "Aku nggak waras! Aku ketemu lagi sama dia semalam."
"Di dalam mimpi?" Zain berkata sekenanya.
"Aku serius anjir," jawab Hara menghela napas. "Dan aku rasa keadaan dia nggak lebih baik dari dua tahun lalu."
"Aku heran kenapa kamu peduli banget sama hal itu, padahal nggak kenal dia dan cuma pegang tangan dia waktu itu sebelum dia bunuh diri," cerocos Zain tanpa ragu mengatakan semua keresahannya tentang sikap teman seperjuangannya itu selama dua tahun terakhir ini. "Maksudku, kamu nggak mungkin suka sama dia, kan?"
"Kamu yang nggak waras, Zainal!" sergah Hara kesal dengan pendapat yang diutarakan Zain.
Bagi Hara, perempuan yang ia pegang tangannya dua tahun lalu itu hanya seberkas ingatan yang ingin ia selesaikan. Hara ingin selesai jika ia tahu keadaan perempuan itu. Hanya keadaannya saja, memastikan bahwa upayanya kala itu bisa merubah hidupnya. Namun, setelah semalam, Hara yakin jika keadaan perempuan itu belum baik-baik saja seperti yang dia harapkan.
"Jadi?" tanya Zain.
Hara berpikir keras mengenai apa yang sedang dia rasakan. Dia khawatir pada perempuan itu karena sikapnya yang aneh semalam, dia juga merasa sangat ingin tahu keadaannya, bahkan Hara selalu berusaha mencari jejaknya sejak dua tahun lalu. Apa yang sebenarnya Hara rasakan? Dan apa yang harus dia lakukan? Dia tak bisa mengabaikannya, dan belum menemukan cara menyelesaikannya.