"Amar?!"
Aku berlari dengan tidak tahu malu menerobos keramaian di dalam kafe. Memanggil Amar membuat perasaanku menjadi lebih tenang, meski tidak membuatku lebih baik. Laki-laki jangkung itu berdiri dari duduknya saat aku mengacaukan aktivitasnya. Orang-orang dengan buku tebal, dan tugas-tugas mereka, menatapku lekat. Itu membuat tenggorokanku semakin tercekat.
"Siapa, Mar?"
"Temanku," jawab Amar menghampiriku.
Teman? Aku dan Amar hanya teman?
"Billa," lirih Amar memegang tanganku, menarikku pelan keluar dari kafe. "Ada apa?"
"Pergi! Ayo pergi!"
Amar menghela napas, menatapku. Meski merasa bersalah, aku tidak bisa bertahan lebih lama menunggu Amar di luar kafe. Keadaan semakin ramai, riuh rendah suara orang-orang yang tertawa, mereka yang berteriak, dan beberapa laki-laki yang lalu lalang. Mereka semua membuatku ketakutan. Lagi dan lagi. Aku harusnya sudah baik-baik saja, tapi aku tidak bisa mencegah diriku untuk tidak takut. Merasa ingin mati tidak lebih menakutkan dari pada melihat banyak sekali orang di hadapanku.
"Iya," kata Amar segera tersenyum. Laki-laki jangkung ini merapikan rambutku dengan tangan hangatnya, memberiku tatapan teduh yang sama dengan milik Ayah. "Maaf sudah membuatmu menunggu, Billa."
Aku mengangguk dengen ketenangan yang menyudut di batinku hanya karena senyum hangat milik Amar. Laki-laki itu melirik ke arah teman-temannya, lalu padaku. "Aku ambil tas dan barang-barangku dulu, kamu tunggu di sini sebentar," ujar Amar berlalu.
Kepergian Amar itu membuatku mematung di antara orang-orang yang ramai. Suara mereka terasa seperti tusukan ringan di telingaku, tidak menyakitkan, tapi cukup mengganggu. Aku tidak masalah selama mereka tidak mendekat, sebab aku hanya perlu waspada jika saja para pria itu datang mendadak. Di depan kafe bernuansa hitam ini, tak ada benda yang bisa kugunakan untuk mati. Tidak dengan pintu otomatis yang terbuka sendiri, tidak juga dengan pot-pot bunga kecil yang mendekorasi sisi kanan kafe, mereka terlalu cantik untuk melukaiku.
Pagar-pagar kayu juga tidak mungkin sebab terlalu berat, dan tak ada apa pun lagi selain kaca yang menjadi dinding kafe. Dari situ aku bisa melihat Amar sedang berbincang dengan seorang perempuan. Siapa yang berani sedekat itu dengan Amar? Aku tidak tahu! Aku tidak suka milikku dimiliki orang lain, termasuk Amar. Aku hampir melangkah, jika saja seseorang tidak mendahului kakiku.
"Kamu ..." Dia tersenyum, tapi tampak canggung.
Aku tahu dia orang aneh, terlihat sejak pertama kami bertemu. Laki-laki dengan kemeja lengan pendek berwarna biru, semacam khas mahasiswa teknik. Dia adalah laki-laki tadi, dan semalam? Ah sial!
"Topimu," lirihnya lagi. "Tadi jatuh."