Lari, Sepak, Ulangi!

Ganik
Chapter #1

Bab 1.1. Sepakbola Lontong Kari (bagian 1)

Kalau enam bulan yang lalu Cina tidak jadi menggencarkan perang dagang dengan Amerika, tembakan yang baru saja dilakukan Dani pasti masuk gawang. Namun bukan itu yang terjadi. 

Yang terjadi adalah: enam bulan lalu Cina menggelorakan nasionalisme semu di hadapan Amerika. Mereka memperkuat pengusaha dan bisnis dalam negeri, mempertimbangkan ulang transaksi dengan negara-negara Asia Tenggara, dan membuat nilai mata uang di kawasan itu jatuh. Rupiah termasuk yang paling parah. Turun hampir dua puluh persen. Karena itu, nilai bantuan yang diterima untuk konstruksi sebuah universitas islam di Bengkulu dari konsorsium di timur tengah menjadi menggelembung. Uang yang sudah turun berbentuk Dirham, yang nilainya relatif stabil. Uang Dirham yang perkasa itu ditukar menjadi Rupiah, membuat pendanaan proyek menjadi bertambah dua puluh persen. Para pemilik proyek, ulama-ulama yang saling berdebat soal status halal-haram uang tambahan dua puluh persen itu, akhirnya memutuskan untuk merekrut lebih banyak pekerja yang bisa mempersingkat waktu pengerjaan. Tidak akan salah kalau digunakan untuk dakwah, kesimpulan mereka. Pekerjaan yang lebih cepat selesai di Bengkulu membuat Suyatna pulang lebih cepat ke rumah istri sahnya di kawasan Cakung. Suyatna membawa pulang uang dan bonus yang tadinya akan dihabiskan bersama Yanti, istri sirinya di Bengkulu. Begitu tahu suaminya pulang lebih cepat membawa uang lebih banyak, Endah senang bukan main. Pagi hari setelah menemani Suyatna main semalaman di sofa baru, Endah berangkat berjualan lontong kari dengan perasaan gembira luar biasa. Langit di atas kepala Endah lebih biru dan udara yang ia hirup lebih wangi. Endah menuangkan bumbu lebih banyak dari seharusnya dan memberikan porsi lebih royal untuk para pelanggan. Termasuk Dani, yang tidak kuasa menahan godaan aroma santan ekstra wangi. Dani menghabiskan tiga porsi lontong pagi itu sebelum bertanding di semifinal 30 Cup. Tiga porsi lontong membuat tubuh Dani tidak seimbang. Sehingga saat serangan SMA 152 macet, dan Dani memutuskan untuk melakukan tembakan jarak jauh, bola yang sudah melewati kiper melenceng beberapa senti dari sasaran yang diincar Dani. Benda bulat semi elastis itu menghantam tiang gawang dengan kencang, memantul kembali ke lapangan, dan jatuh di kaki bek kiri tim SMA 30. Tidak gol.

Alih-alih mendongkol, Dani membuka senyum dan mengangkat kedua alisnya.

“Ini pasti karena lontong kari.”

Tentu saja Dani tidak terpikir untuk menyalahkan pemerintah Cina.

“Turun! Turun!” Teriak Putra di bawah mistar gawang SMA 152, yang melihat bola sudah dilambungkan ke area pertahanan miliknya, sementara para pemain belakangnya masih tercengang menemani Dani di area pertahanan SMA 30. 

Bola yang melambung ditahan menggunakan dada dan jatuh di kaki Arthur, salah satu siswa SMA 30 yang tubuhnya paling tinggi di sekolah. Di dekat Arthur, Ivan sudah berlari kencang hingga rambut panjangnya sedikit melambai. Ivan termasuk anggota tim SMA 152 yang tidak memiliki teknik, namun memiliki nyali sebesar Istora Senayan. Ia menerjang Arthur tanpa peduli yang ia dapatkan bola atau kaki. Namun Ivan tidak mendapatkan keduanya. Arthur melompat menghindari tebasan Ivan setelah mengumpan ke Roni si penyerang sayap, yang berlari ganas membawa bola menuju gawang. Roni berlari lima langkah sebelum terpaksa mengubah arah agak melebar. Soni tiba di dekat Roni dan mulai melakukan tabrakan bahu ke bahu. Soni sudah bertekad tidak akan melepaskan lawannya dan akan berusaha sebisa mungkin merusak serangan yang datang, seperti instruksi yang diberikan Ivan sebelum pertandingan. Namun Soni yang baru lulus SMP tidak menyangka Roni berhenti berlari mendadak. Soni masih berusaha menghentikan laju larinya ketika bola sudah diluncurkan Roni ke depan gawang menuju Iyet yang siap menanduk ke arah gawang  kosong. Namun Iyet tidak melihat Koko datang dari belakang. Koko berlari kencang, melompat tinggi, dan menanduk bola sebelum mencapai Iyet. Bola melayang menjauhi kepala Koko.

Masuk ke dalam gawangnya sendiri.

Priit! 

Taslim meniup peluit dan menunjuk ke titik tengah lapangan sambil tersenyum. Menimbulkan kecurigaan beberapa pemain SMA 152 yang dari awal merasa tidak nyaman pertandingan harus dipimpin oleh guru olahraga dari SMA lawan.

“Wa!”

Para pemain cadangan SMA 30 dan SMA 152 berteriak bersamaan untuk alasan yang berbeda. Sekitar lima belas siswa SMA mengepalkan tangan mereka di ujung tribun timur. Tujuh siswa bertepuk tangan. Empat siswa di ujung lain tribun memegang kepala mereka. Dua guru menolehkan kepala di bawah pohon mangga. Satu siswa pria di ujung tribun melihat siswa pria di ujung lain dengan tatapan mabuk kepayang. Tribun sebelah barat kosong karena terkena panas matahari sore. Seekor kucing mengendus bungkus bekas pilus di bawah kursi.

Beberapa pemain SMA 30 di lapangan berpelukan dan tertawa.

Keplak! Tangan Putra melayang ke belakang kepala Koko.

“Masukin ke gawang sebelah sana! Bukan yang ini!”

“Pret!” Koko berkacak pinggang dan meludah.

“Bangun dulu baru main bola, Koh.” Ivan mencibir sambil menarik kedua ujung matanya ke samping.

“Diem lu. Tekel masih belepotan udah berani nyela.”

Ivan tertawa dan berjalan menjauh. 

Dani berlari menghampiri Koko. Senyum di wajah Dani entah mengapa membuat Koko tidak nyaman.

“Koh, kalo tadi bola nggak masuk ke gawang jadinya gurih.”

Kening Koko berubah lebih berkerut dari sebelumnya.

“Ngomong apa sih lu?”

“Gurih, Koh. Karena batal-gol. Paling enak langsung makan setelah digoreng, kasih bumbu kacang, kecap sama jeruk nipis.”

Koko terdiam menatap Dani yang tersenyum lebar selama lima detik.

“Dan, kalau elu gue tonjok sekarang, gue dapat kartu merah nggak?”

Dani tersenyum semakin lebar. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Koko. “Koh, nanti kalau dapat bola dari sebelah kiri, langsung lob ke depan.”

“Lu kenapa sih ngomong dekat banget ke kuping orang?” Koko bersungut menjauhkan kepalanya dari kepala Dani.

“Langsung lob ya Koh. Tenang, pasti gue kejar.”

Dani membawa bola dan berlari kembali ke titik tengah untuk melakukan kick off. Senyum di wajahnya tidak lepas atau menghilang.

Dani meletakkan bola di titik tengah dan menatap Iman yang berdiri satu meter di sebelah kanan. 

“Kalem, Man. Nanti bola langsung oper ke Abud, oke?”

Lihat selengkapnya