Hidup adalah pertempuran tanpa henti. Itu adalah prinsip yang harus kembali diingat oleh sebuah koloni burung gereja yang sedang diserbu oleh koloni lain pada petang itu.
Belasan ekor dari kedua koloni sudah berkumpul di padang peperangan. Di pihak yang sedang bertahan, sudah terkumpul setengah lusin prajurit. Mereka berkumpul di sekitar pohon rambutan. Dua ekor yang paling besar sedang hinggap di dahan yang terkuat. Tiga ekor mengamankan parameter di dasar pohon. Satu ekor tidak berhenti berkicau dari dahan paling tinggi memberikan informasi keadaan pasukan lawan.
Di pihak penyerbu, delapan ekor sudah mengambil ancang-ancang, siap di titik-titik strategis untuk mengepung target. Dua ekor mengepak-ngepakkan sayap di atas papan nama akrilik yang menempel di muka bangunan kantor. Dua ekor berusaha mengintimidasi di bubungan atap pos satpam dekat gerbang. Sang pemimpin diapit dua ekor pengawal, berkicau keras menantang di pinggir area parkir mobil. Satu ekor yang memiliki mata paling awas hinggap di atas talang hujan mencari jalur darurat jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Hingga sang pemimpin koloni tuan rumah turun sendirian ke area aspal. Menunjukkan kejantanan raksasa untuk sebuah burung kecil. Ketua penyerbu tidak mau kalah. Ia menghampiri sang lawan untuk pertemuan empat mata sebelum pergulatan akbar.
“Keluar dari rumah kami. Kami sudah menempati area ini semenjak tempat ini masih gersang, saat pohon-pohon penuh serangga ini masih berupa batang-batang kurus tanpa kehidupan.”
“Maaf, kami harus mengambil alih tempat ini. Monster-monster raksasa sudah menebangi sarang kami di lahan sebelah, sehingga rerimbunan pohon kini berganti jadi struktur-struktur bising yang tidak bisa kami tinggali.”
“Keluar dari rumah kami sekarang dan kalian bisa pergi tanpa luka-luka.”