Laron Jakarta

Muram Batu
Chapter #1

Satu

Tak tahu mengapa, wanita itu selalu saja melirik ke arahku. Sepertinya, aku ini terlalu menarik untuknya. Ya, apa yang membuat orang lain melirik selain ia begitu menarik – terserah menarik karena bajunya ada noda, tata rias yang berlebihan, atau ada cabai di giginya. Dan, yang kurasakan adalah ketertarikannya itu pada bagian yang jelek, tidak pada kecantikan atau kepintaranku. Itu kan bahaya. Mengancam.

Setahuku namanya Siska, sarjana dari Yogyakarta. Menurut kabar yang beredar, dia pernah tinggal di Belanda selama dua tahun. Kabarnya, dia di Belanda karena mendapat beasiswa, mempelajari tulip. Orang pertanian, kok, malah kerja di bidang periklanan? Tidak sesuai, ‘kan? Makanya, ketika dia diterima sebagai salah satu pekerja di kantorku, akulah orang pertama yang menolaknya.

Apa karena penolakanku itu ia melirikku terus? Terserah ....

Dan, dia lewat lagi di depanku dengan lirikan mautnya itu.

Dia masuk ke ruang manajer. Hmm, aku tahu, dia pasti mau merayu. Ayolah, orang seperti dia, apa lagi yang dia andalkan selain kecantikannya itu. Baiklah dia sarjana atau malah pernah tinggal di Belanda, tapi dia kan belum punya pengalaman di bidang ini. Jadi, dasar apa yang membuat dia bisa dipercaya untuk menggarap iklan besar itu.

Oya, Siska langsung mendapatkan proyek besar tepat setelah seminggu bekerja, bisa bayangkan itu? Siapa yang tidak curiga? Ojek payung di bawah gedung ini saja pasti curiga.

Tapi, begitulah, kantor ini sepertinya telah buta. Pria-pria di kantor ini telah mabuk. Pantang melihat yang baru dan segar.

Jangan mengatakan aku iri atau apalah, aku hanya kasihan dengan keadaan kantor sekarang. Suasana kerja sudah sangat berubah, persaingan bukan lagi pada kualitas, tapi lebih mengarah pada dekatnya pegawai dengan pimpinan. Sayang, Jay terlalu cepat keluar, seandainya dia masih memimpin kantor ini, pasti keadaannya lebih baik. Tapi, dia salah juga, kenapa memiliki istri yang cemburuan. Bayangkan saja, Jay berhenti kerja karena istrinya tahu dia ada main di kantor.

Siska belum juga keluar, aku penasaran, apa yang terjadi di dalam sana. Pintu ruangan itu tertutup rapat, aku tak bisa mengintip. Semoga saja ada kisah di sana, kisah yang dapat membuat Pak Don berhenti kerja. Ha... ha... ha..., sepengetahuanku, istri Pak Don tak kalah dengan istri Jay, sama-sama pencemburu. Atau, kulaporkan saja pada istrinya, ya?

  Ah, kenapa aku jadi seperti ini? Pekerjaan menumpuk, eh, kok, malah sibuk mengurusi urusan orang. Tapi, kalau Pak Don keluar, aku kan bisa berharap akan datang manajer baru. Ya, manajer yang bisa mengubah suasana kerja. Siska tentunya akan jatuh dan sulit dapat proyek besar.

Dan, Siska keluar ruang Pak Don, menutup pintu, berbalik dan menatapku. Dia tersenyum. Aku tahu, senyumnya pasti berarti senyum kemenangan. Ya, hebat kau Siska, kau bisa mengalahkan aku, walau baru kerja tak sampai sebulan. Hebat. Salut.

Tunggu dulu, dia mendatangiku.

“Mbak Nadia, kata Pak Don ....”

Ah, aku tahu. Dia pasti akan mengatakan bahwa Pak Don barusan memecatku. Dan, mejaku ini akan menjadi miliknya. Meja terbaik dan terletak di tempat paling strategis ini akan berpindah tangan.

“Mbak, bagaimana?”

Ya, ya, aku tahu kalau harus pergi. Nikmatilah keberhasilanmu!

“Semuanya terserah Mbak Nadia, kalau Mbak Nadia tidak mau juga tidak apa-apa, tapi tolong, ya ....”

Sudahlah, jangan berbasa-basi lagi. Kalau mau mengusir, ya, tinggal usir saja.

“Bagaimana, Mbak? Kok, diam saja?”

Wajah Siska kini tepat di depanku, tersenyum, berjarak hanya sejengkal. “Mbak, melamun, ya?” godanya.

Bah! Apa ini.

Lihat selengkapnya