Dia menolak rokokku, katanya, dia memang tidak merokok. Kalau tidak merokok, mengapa mengikutiku sampai ke puncak gedung begini? Sebagai gantinya rokok, dia malah sangat cerewet. Berbincang terus tentang idenya untuk iklan tersebut. Aku suntuk. Kenapa di tempat yang menyenangkan seperti ini masih saja membicarakan pekerjaan.
“Kenapa kerja di sini?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
“Aku suka bidang periklanan, Mbak.”
“Hanya karena suka?”
“Uangnya, tentu, Mbak.”
“Tapi, masih banyak perusahaan lain, kenapa memilih di sini?”
“Mbak bisa pegang rahasia?”
Hmm, membuka rahasia untuk mengambil hati. Paling-paling rahasia tidak berbobot. Ya, pasti dia akan mengatakan kalau dia berasal dari keluarga miskin, mencari uang di Jakarta untuk membiayai keluarganya. Basi! Aku tak akan terpengaruh. Aku tak akan menjadi temannya. Kenapa? Ya, karena setelah iklan ini selesai, dia pasti akan meninggalkanku. Ayolah, ini Jakarta, aku sudah sangat sering mendengar kisah seperti itu. Ayo, katakanlah rahasia basa-basimu itu.
“Sebenarnya aku malu mengakuinya, tapi aku pikir Mbak Nadia bisa dipercaya. Dan, aku suka dengan Mbak Nadia. Ya, setidaknya, aku ingin kita tidak sekadar teman kerja saja. Menyenangkan sekali kalau ada teman berbagi di kota yang keras ini.”
“Sudahlah, Sis, rahasia apa?” tanyaku, tak sabar untuk mendengar basa-basinya itu. Sungguh, aku ingin mendengar sebuah kebohongan hari ini.
“Mas Jay, kalau bukan karena dia, tentunya aku tidak bisa kerja di sini. Ya, ijazahku tidak mendukung, Mbak.”
“Jay, mantan manajer di sini?”
“Ya, dia yang merekomendasikan aku.”
Apa? Jay? Dasar buaya! Tapi, tunggu dulu, “Kamu saudaranya?”
Siska menggeleng dan aku mengerti.
“Kenapa, Mbak, kok, mukanya jadi tegang begitu?”
“Tidak apa-apa, syukurlah kamu memiliki kekasih seperti dia,” balasku, datar.
Kau akan kuhajar, Jay!
“Kok, masih tegang? Sebenarnya ini tidak benar, tapi bukankah hal seperti ini biasa? Yang penting, aku akan berusaha mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan Mas Jay.”