Little Miss Perfect, anak itu sekarang sudah memasuki usia 19 tahun, memasuki usia di mana denial menjadi jalan ninjanya. Menurutku, ia tidak secantik masa kanak-kanaknya dulu. Rambut keringnya dikuncir kuda, mata bulatnya menjadi tampak aneh dengan kerutan dan lingkar mata yang cukup tebal. Satu-satunya hal yang menolong penampilannya adalah kulit cokelatnya yang terawat, hingga tidak ada satupun bekas jerawat di wajahnya.
Seperti impian ayahnya saat kecil dulu, anak itu mulai menapaki karirnya sebagai tukang cat pelukis . Tapi seperti yang sudah kuduga semenjak goresan kuas pertama, mural kali ini pun akan berujung dengan pertengkaran.
"Asa, berapa kali aku harus bilang jangan pakai warna HITAM!" Nada bentakan di kata terakhir yang khas dari Ketua Tim Pengecat Dinding (Katim Padinding) biasanya membuat siapapun langsung menundukan wajahnya, tapi tidak untuk anak magang itu, baginya selalu ada celah untuk melawan.
"Aku enggak pakai warna hitam, memangnya sejak kapan tim ini punya cat warna hitam?" Asa melirik ke teman-teman tukang cat pelukisnyatapi semua temannya mencoba melirik ke arah lain, tidak mau ikut terkena masalah.
Katim Padinding menunjuk ke bola mata dari mural mermaid yang baru selesai dilukis oleh Asa, "Oooh… terus… Itu warna apa?"
Asa diam, semua temannya juga diam. Katim Padinding mencoba membuat senyuman di bibir yang tidak pernah menggunakan lip balm seumur hidupnya, lalu mengubah cara bicaranya menjadi sehalus yang ia bisa, "Ini, aku yang buta warna, atau dokter mata di tes masuk kalian semua yang kerjanya ASAL-ASALAN!"
"I..itu warna hitam kok mba..." Asa melirik kesal pada Joshua yang takut-takut menjawab pertanyaan Katim Padinding karena jawaban Joshua membuat wanita di awal umur 30-an itu menatap tajam padanya.
"Itu bukan cat warna hitam, itu cuma campuran dari cat warna merah, biru, dan kuning." sambil memperlihatkan giginya yang lurus sempurna, Asa mencoba membuat lelucon agar Katim Padinding menurunkan emosinya.
Katim Padinding yang selalu terlihat melakukan meditasi pagi di sosial-medianya, menarik napas dan mengatur ulang peredaran darahnya. Perintahnya lembut, tegas, pasti, dan absolut. "30 menit lagi magrib, sekarang kalian cat semua temboknya jadi putih. Besok kamu datang pagi-pagi, Asa! Kamu lukis ulang sesuai rencana kita, enggak ada warna hitam, enggak ada impresi sedih sedikitpun yang boleh tersirat dari lukisan kamu. Ngerti?"
Asa cuma mengangguk, memandang lukisan mermaid terbaiknya untuk terakhir kalinya sebelum teman-teman pelukisnya menyiramkan cat putih dan membuatnya perlahan menjadi kanvas kosong lagi. Asa tidak merasa ada yang salah. Apa salahnya setitik warna hitam? Kalaupun salah, bukankah tidak ada kesalahan aktual dalam sebuah karya? Bahkan tidak ada kesalahan dalam bagaimana seseorang menginterpretasi karya seni.
______________________________________________________________
Dalam 10 menit saja, mermaid yang dilukis oleh Asa selama 6 jam kini punah seutuhnya. Bersamaan dengan terdengarnya sirine peringatan pertama bahwa matahari sebentar lagi terbenam, Asa mengambil aku dan memasukkan kuas-kuas yang tergeletak di sekitarku ke dalam mulutku dan mengikatku di pinggangnya. Asal kau tahu, sekarang fungsiku sudah bukan lagi penghangat tangan, tapi sudah dimodifikasi menjadi tas pinggang kecil untuk menaruh kuas, lap, dan alat-alat lukis lainnya.
Asa melihat ke teman-temannya, " Sorry ya..kita jadi pulang mepet maghrib", permintaan maaf formalitas yang hanya dibalas dengan anggukan dan jawaban formalitas juga oleh teman-temannya sambil berjalan menuju mobil Badan Nasional Penanggulangan Wabah Bunuh Diri Divisi Pengecat Dinding (BNP Wabundir Dipadinding) yang semenjak Satgas ini beralih menjadi Badan sendiri 5 tahun silam tidak pernah diperbaharui. Sebagai satu-satunya orang yang memiliki SIM, Asa dengan senang hati berkorban untuk mengemudikan mobil yang power steering-nya sudah kehilangan power-nya.
Sirine peringatan kedua terdengar, 10 menit lagi matahari tenggelam, tapi itu bukan masalah bagi Asa. Jika google maps menyatakan butuh waktu 20 menit untuk pergi ke kantor Padinding di Balai Kota Bandung dari Arcamanik, artinya Asa hanya butuh setengah dari itu.