“Apa kita bunuh saja?” Kalimat selanjutnya dari orang itu membuat Asa membeku..
Asa pikir dia sudah selamat… Tapi ternyata….
Tidak…
Namun, Asa tidak berontak, tidak mencoba kabur, dan tidak juga meminta pertolongan.
Baginya… cukup.
Cukup sudah ia mencoba berontak dari semua yang terjadi malam ini. Cukup sudah ia mencoba agar semuanya menjadi lebih baik. Cukup sudah ia menjadi peran utama di kisah-kisah horor klise dimana kengerian muncul bertubi-tubi.
Saat menonton film horor, Asa seringkali heran kenapa peran utama di film atau cerita horor itu begitu berani, begitu penasaran, begitu kuat keinginannya untuk terbebas dari hantu-hantu yang mendatangi mereka.
Bukankah ada pilihan untuk tidak mendatangi suara aneh yang muncul di malam hari? Bukankah ada pilihan untuk membiarkan pintu yang dilarang dibuka oleh pemilik rumah sebelumnya? Bukankah ada pilihan untuk pasrah saja saat hantu muncul dan mencoba membunuh kita?
Tapi bocah gila itu menjilat ludahnya sendiri saat ia memilih memasuki rumah gelap untuk mencari laki-laki pembohong yang baru ia temui kurang dari 30 menit. Dan akhirnya, ia hanya bisa berharap nasibnya sama dengan peran utama di film-film itu, yang entah darimana, hampir selalu selamat…diselamatkan oleh pembuat ceritanya…
Kini Asa menutup matanya, pasrah. Ia merasa jika ia memang tokoh utama dalam cerita, entah bagaimana, ia akan selamat. Atau setidaknya jika ia benar-benar dibunuh, ia tidak perlu melihat dengan cara apa ia mati.
…
…
…
Ia menunggu beberapa lama, tapi ia heran karena tidak ada yang terjadi… tidak ada pisau… tidak ada cekikan… atau tidak ada bunyi letusan senapan…
…
Perlahan, Asa mencoba membuka kedua matanya. Kali ini, dengan pandangan buram, ia melihat ada dua sosok tepat di hadapannya.
Seorang lelaki dan seorang perempuan. Keduanya terlihat menggunakan jaket parka ungu gelap dengan model yang sama.
“Eh..eh.. dia buka mata tuh? Hai…Halo…! Kamu mau aku bunuh ga?” Pertanyaan dengan nada riang yang sangat tidak cocok dengan konteksnya itu dilontarkan oleh perempuan yang ada dihadapan Asa.
“Asa!!!” Suara kian kembali terdengar. Asa heran, apa yang membuat Kian lambat sekali, bukankah rumah cluster itu paling-paling hanya seluas 72m2?
“Yah…masih ada satu lagi ternyata…” Perempuan itu terdengar kecewa.
“Ki…Kia..n…to…to…” Asa hendak menjawab panggilan Kian, namun tiba-tiba lelaki yang ada di hadapannya mengeluarkan kamera analog dengan lampu flash yang cukup besar menempel di atasnya.
“Senyum..” Suara lelaki itu berat, serak, namun bukan dalam artian misterius. Kalau ku coba ingat-ingat, suaranya lebih seperti orang yang suaranya habis setelah karaoke semalaman.
Asa mencoba melihat wajah lelaki itu…
Tampan…
Namun jenis tampan yang berbeda dengan Kian. Jika Kian dengan kulit putih dan rambut mangkoknya adalah jenis laki-laki yang manis, baik, dan terlihat ramah. Manusia di depannya ini jelas kebalikannya. Lelaki itu berkulit coklat berahang tegas dengan brewok tipis, dan rambut ikal yang tidak pernah disisir. Jelas, ia jenis laki-laki yang bisa tetap terlihat tampan walaupun kumal dan tidak terawat.
FLASH!! CEKREK!
Cahaya flash itu membutakan penglihatan perempuan halu yang memang pantas menjomblo selama 19 tahun… Coba kalian pikirkan, manusia normal mana yang setelah jatuh dari lantai dua, berbaring bersebelahan dengan mayat, tulang patah, dan ada orang tak dikenal berkata akan membunuhnya, masih bisa peduli lelaki yang ada di depannya tampan atau tidak.