Laskar Harapan : Sekte Nada Minor

Si Dino
Chapter #4

That Which I Should Have Done I Did Not Do (The Door)

Kalau saja aku bisa memilih, Aku akan memilih untuk tinggal saja di mobil dinas tersebut. Mungkin saja kan alih-alih menjadi boneka milik Asa yang otaknya entah berada di mana, aku bisa diadopsi oleh Anen sehingga aku bisa memiliki pemandangan yang jauh lebih indah setiap harinya. Kalian pun akan mendapatkan cerita dengan genre yang jauh berbeda, lebih indah, lebih mendayu-dayu, cerita khas female-lead dengan banyak cogan-cogan yang memperebutkannya.

Atau mungkin aku akan diadopsi oleh Deden. Walau mungkin ia akan jarang membawaku ke mana-mana, setidaknya aku yakin Deden akan membiarkanku menikmati bagaimana rasanya laundry yang memang dikhususkan untuk boneka, juga mengisi kembali kapas-kapas di tubuhku hingga aku menjadi gempal dan menggemaskan seperti dulu. Kalian pun akan menikmati cerita penuh lawakan segar yang bisa membuat kalian terpingkal-pingkal seperti roman Lupus yang sempat hits di era 90-an.

Tapi sayangnya, seperti aku, kalian harus berusaha menikmati cerita penuh aksi dari seseorang yang kehilangan nalar berpikirnya.

Kalian pikirkan saja. Orang waras mana yang tanpa ragu melangkahkan kakinya ke rumah yang gelap gulita di tengah situasi siaga 1 wabah bunuh diri? Jelas-jelas instruksi pertama yang ditulis besar-besar dalam buku pedoman pencegahan bunuh diri adalah "JANGAN BERLAMA-LAMA BERADA DALAM KEGELAPAN". Memang sih, aku belum pernah mendengar ada kasus boneka yang bunuh diri. Tapi aku tidak mau menjadi yang pertama.

Asa kini sudah berada di depan pintu yang sepertinya Kian biarkan terbuka untuk memudahkan larinya saat berhasil menjemput siapapun itu. Asa melihat ke dalam rumah. Jika dibandingkan dengan kegelapan di dalam rumah, ternyata bagian luar rumah tidak ada apa-apanya. Ruang tengah rumah itu benar-benar gelap sampai-sampai Asa tidak dapat melihat apa pun kecuali sofa panjang yang masih sedikit terkena biasan cahaya dari pintu depan. Asa menatap kosong langit-langit rumah tersebut seakan baru menyadari keputusannya benar-benar salah.

"Ki-an.." Asa mencoba memanggil Kian, namun suaranya mengecil setelah suku kata pertama. Ia takut. Ia takut jika asal memanggil, bukannya Kian yang muncul, namun ia malah memancing hal yang lain untuk datang menghampirinya.

Tak ada jawaban. Asa masih bergeming di depan pintu yang terbuka. Ia menatapku seolah bertanya padaku apakah sebaiknya ia masuk ke dalam atau tidak. Melihat Asa tiba-tiba mengangguk yakin dan menyalakan senter di smartphonenya, aku sadar bahwa Asa berbohong saat dulu dia bilang dapat mengerti bagaimana perasaanku.

Dengan bantuan sedikit cahaya, kini Asa dapat melihat isi ruangan tersebut. Sebenarnya jika dilihat-lihat, ruangan tengah rumah itu seperti ruangan rumah cluster pada umumnya. Furnitur dengan warna dan gaya yang tidak cocok satu sama lain karena dibeli secara terpisah. Lemari buku kayu yang sepertinya adalah warisan dari rumah sebelumnya karena sangat mencolok dibandingkan dengan hiasan dinding dan furnitur lain yang bergaya minimalis. Satu-satunya hal yang membuat heran Asa adalah tidak ada satupun foto keluarga yang terpasang di seluruh ruangan.

Asa melihat ke arah pintu kamar yang terletak di ujung ruangan dekat dengan tangga menuju lantai 2. Sama seperti saat menghampiri studio lukis orangtuanya, Asa merasakan kehangatan dari arah sana. Namun, begitu mendekat ke arah sana, samar-samar Asa dapat mendengar lantunan murotal dari arah lantai 2.

"Allażīna āmanụ wa taṭma`innu qulụbuhum biżikrillāh, alā biżikrillāhi taṭma`innul-qulụb.." Asa menggumam mengikuti bacaan murotal itu. Aku tak tahu surat apa yang sedang dilantunkan, tapi melihat mulut Asa bergumam mengikuti bacaannya, pastinya itu termasuk surat yang termasuk dalam surat-surat yang ada dalam playlist rekomendasi BNP Wabundir.

Di temani lantunan murotal, Asa merasa menjadi lebih tenteram. Ia tak jadi menuju pintu kamar tadi karena siapapun itu, pastinya ada "orang" yang memutar murotal di lantai 2. Asa menaiki tangga sambil berharap Kian tiba-tiba muncul seperti adegan-adegan jumpscare tipuan di film horror. 

Tapi tidak, tidak ada yang terjadi sampai Asa kini sudah berdiri di hadapan pintu kamar sumber lantunan murotal itu berasal. Pintu kamar tersebut tidak sepenuhnya tertutup, namun hawa gelap yang terpancar dari celah-celah sempit itu sudah cukup untuk membuat siapapun tidak berani mengintip kedalamnya.

Kali ini, aku mencoba sekali lagi untuk percaya pada perkataan Asa bahwa dia benar-benar memahamiku… Aku coba terus mengulang dan memberitahunya untuk lewati saja pintu itu, cari Kian ke kamar yang lain, atau bahkan lebih baik tidak perlu mencarinya sama sekali…

Namun bocah tolol satu itu ternyata benar-benar berbohong soal ia bisa memahamiku…

Asa mendorong pintu agar terbuka tanpa melangkah memasuki kamar tersebut untuk terlebih dahulu mengetahui apa yang ada di dalam sana.

Sinar senternya hanya bisa menerangi sebagian kecil ruangan sehingga Asa harus melayangkan sinar tersebut menyusuri ruangan. Asa dapat melihat poster-poster anggota boyband korea juga beberapa merchandise dari boyband yang sama terpasang di dinding kamar. 

Asa merasa tidak ada yang mencurigakan dari kamar itu dan beranjak masuk. Kali ini, Asa dapat melihat skin-care dan peralatan make-up dari brand yang sama dengan yang Asa pakai tertata rapi di meja dekat tempat tidur. Hijab-hijab tergantung rapi di gantungan dekat lemari besar di pojok kamar. Hingga akhirnya Asa menemukan sumber suara murotal tersebut: Handphone keluaran china 2 tahun yang lalu tergeletak di atas tempat tidur dengan sprei motif kotak-kotak jingga.

Lihat selengkapnya