“Teman-teman bilang, Didin itu nggak punya bapak, Maaak!” adunya seakan menghunus lubang pendengaranku. Tangisnya memecah keheningan. Mungilnya langsung kurengkuh dalam lingkaran pelukan. Bagaimana mungkin, teman main kelerengnya itu berujar demikian? Padahal, cukup rapi rahasia itu kusimpan dalam-dalam.
Khawatir, kalau-kalau anak semata wayangku ini telah lebih dulu memahami. Padahal, ia belum cukup tegar. Tubuhnya pun pasti akan mengempis dan sulit membesar, tatkala ia menelan getirnya sekarang. Atau, ia bagai bayi tersapih sebelum waktunya datang. Sungguh, ia akan menggelimang penderitaan, tidak akan kuat sebelum dadanya membidang.
“Duh, Gustiii, Paringi kulo kesabaran.”1
Tak terasa, titik-titik embun, begitu saja lahir dari dua mataku. Anak kecil ini semakin melarut pada putaran dekapan. Tenggelam jauh, sejauh kenangan kelam yang terpendam bersama keringat basahku.
“Wes yah, Le.2 Nggak usah ngrengek lagi. Didin itu punya bapak, kok. Nggak usah dengerin temanmu itu. Dia hanya guyon,” terangku menyeringai senyuman. Kepalanya lalu kuusap penuh kelembutan.
Sedari pagi, anakku ini berburu capung di jalanan. Menjadikan wajahnya tak terbersihkan, jemarinya berlumuran debu-debu, dan pipinya bersimbah kebasahan. Rambutnya pun acak-acak tak karuan, seakan seminggu lebih tak kurapikan.
“Mandi dulu yah, Le? Mukamu kotor begitu.”
“Iya, Mak.”
Dengan langkah tergopoh, kutuntun ia menuju sedongan3. Satu gentong kiranya cukup mengguyur tubuhnya. Eh, alih-alih menghibur anak dengan sejuknya air pedesaan, ndilala, terdengar tabuhan hangat dari semak-semak belakang.
“Makanya, Laaas. Kamu itu cepat kawin lagi!”
Ternyata, mulut Bu Saidah menyerang. Aku berusaha menutup bibir lekat-lekat untuk tidak menyahutnya, juga berpura-pura menyumpal kuping seakan dengan dedaunan. Gayung pergayung terus saja ku-gambyor-kan, siram demi siram.