SANG DUKUN

Ikhwanus Sobirin
Chapter #2

Sebuah Mantra

Hari berganti hari, tahun melepas tahun. Kang Yanto tak kunjung melayangkan selembar surat. Sekadar menitipkan kabar pun tidak, apalagi mengirimi nafkah. Memang urusan uang bagiku, tidak terlalu masalah. Panen jagung melimpah. Kebutuhan perut tercukupi. Seribu rupiah bisa ditukar beras satu kilo, itu pun sisanya masih dapat dibelanjakan terasi, kerupuk, dan garam.

Sang surya mulai pulang ke pojok barat. Nyanyian jangkrik mulai melanggam ria. Damar mulai kusulut. Pelita yang kehabisan minyak, segera kutuangi ulang. Begitu pula sumbunya yang kering, segera kuganti.

Si Mbok repot meniupi muka tungku. Wanita lincah itu tengah mengolah sambal teri bercampur pete dan tomat hijau. Sementara ia bergelut dengan asap di pawon, aku bertandang sejenak mengantar anakku ke langgarnya Ustadz Jainuri. Hari ini adalah hari pertama anakku mengaji. Sengaja kupilih hari ini, karena sudah sesuai dengan weton4 kelahirannya.

***

Sekembalinya memasrahkan Didin, Yuk Ningsih terhuyung-huyung, datang. Kaki panjangnya adalah egrang, selangkah saja, ia mencakup jauh sebuah jarak. Ia masuk dengan menggendong wajahnya yang layu.

“Yuk Laaas.” Sebuah desahan khas seorang sinden.

“Iya, Yuk Ning?” Penuh perhatian kumenyambutnya. Suara rendahku bergabung senyuman yang merekah padanya.

“Saya minta diterawang, Yuk!”

“Iya.” Aku mengangguk.

Dari belakang, setengah berteriak, si Mbok mengundang. “He, Ningsih, ayok sini, makan!”

“Iya, Mbok, sampean enak-enakin makannya. Ningsih sudah tadi!” sahut sejawatku ini sambil meluaskan bibir tebalnya, seolah ia memaksa bibirnya untuk tersenyum. Namun, tetap saja wajahnya mengerutkan kegelisahan.

Oala, yah, wes,”5 sumeh si Mbok, kemudian ia meneruskan santapannya.

“Yuk, sapiku yang hilang kemarin, belum ketemu,” tutur Yuk Ningsih bersuara memelas di antara sinar temaram ini.

“Loh! Belum ketemu?!” kejutku.

“Padahal, kalau terlepas, sore-sore begitu biasanya pulang sendiri ke kandang. Lah, ini, sudah tiga hari tiga malam nggak balik-balik!”

“Oalaaa, kasihan sampean, Yuk. Sapi gemuk begitu mahal loh harganya,” tambahku.

Lihat selengkapnya