SANG DUKUN

Ikhwanus Sobirin
Chapter #3

Radio Kenangan

“Yuk Las! Saur Sepuh sudah diputer belum?!” teriak Dek Sarpiyah.

Tanganku masih repot mengoles benges sekaligus celak pada dua bilah mataku. Sapuan gabus menyabet bubuk putih, lantas menebar ke sekujur wajah lancipku. Warna-warni sido, laksana pelangi menghiasi hari-hari bidadari. Kecantikan memang harta termulia bagi seorang wanita.

“Iya, Dek. Masuk, o! Sebentar lagi dimulai itu. Radio sudah aku setel!” sahutku bersuara sama banternya.

“Aku masuk, yah?!”

“Iyah, masuk, o, tidak usah pakai izin-izin sampean itu?!” sahutku lagi.

Bergegas kutaruh alat-alat dandanku di hamparan meja. Mendengar si Mantili datang, aku secepatnya melangkah ke depan. Wanita cerawak itu sejawatku. Ia jago duel layaknya Mantili dalam drama Saur Sepuh. Saking terpesonanya pada acara radio tersebut, anak pertamanya bahkan ia namai Suro, begitu pula suaminya ia panggil Brama Kumbara. Oalaaa, ada-ada saja Dek Sarpiyah ini. He he.

Badan bongsornya kemudian anteng di kursi panjang berbahan jati. Tangannya mulai mengotak-atik radio warisan bapakku itu.

“Berapa harganya radio ini dulu, Yuk?!” tanyanya.

“Kurang tahu, Dek. Itu kenang-kenangan dari Bapak.”

Oala, ngomong-ngomong, bapak dan emakmu minggat ke mana, yah? Sudah lama loh ninggalin sampean!”

“Embuh, Dek.”

Mengingat kedua orangtua, rongga dada tiba-tiba dipenuhi kerinduan berbaur kekecewaan. Teringat akan mereka yang tega-teganya mencampakkanku saat umurku masih belum terlalu genap.

"Hemmm!" Aku mengembuskan napas berat.

Kemudian, aku ikut menaruh diri tepat di sebelah perempuan berlagak setengah pria itu sembari melanjutkan dandanan; mengoles lengan dengan henbodi aroma mawar.

Sampean bawa apa ini, Dek? Repot-repot saja. Ke sini mau nyetel radio mesti bawa jajan.”

“Aku buatin sawut, Yuk. Mumpung masih hangat itu. Enak, loh! Makanen, yah!”

Walah, sampean ini ngerti saja kalau aku lagi ngidam sawut, he he.”

Sejumput sawut, kusahut pelan dari piring seng bergambar dedaunan. Jajanan yang berasal dari parutan singkong bercampur gula merah bertabur parutan kelapa ini, tampak menggiurkan. Apalagi masih hangat, mulut bisa ngiler-ngiler rasanya.

... Saur Sepuh, dalam kisah Pesanggrahan Keramat. Elly Ermawatie sebagai Mantili. Ferry Fadly sebagai Brama Kumbara ....8

Radio menggema. “Eh, sudah dimulai!”

Gerakan cepat Dik Sarpiyah kembali merangkul benda kotak itu dari meja. Aku santai menikmati jajanan singkong buatannya. Menyaksikan si Mantili menempelkan kupingnya ke kotak elektronik itu, aku tersenyum bangga. Radio kenangan tersebut, ternyata berguna juga menghibur orang.

“Eh, si Tole ke mana, yah?!” Aku celingukan. Melempar sorotan ke sekeliling. Baru sadar, anakku jam segini belum juga sarapan.

“Yuk, saya mau nyari Didin dulu, yah. Panas-panas begini, kok belum pulang dia?!”

Khawatir mulai timbul. Pukul satu siang, bocah berkulit cokelat itu tak kunjung masuk rumah.

Lantas, kusambangi anak-anak yang ramai dolanan di latarnya Budhe Wati. Luasnya lapang, kuputari. Mencari keberadaan si Didin, kalau-kalau, ikut bersembunyi di antara semak berbunga. Sementara, Dek Sarpiyah melanjutkan keasyikannya menikmati sajian RRI.

“Sudah apa belum?!” teriak si Suliyati. Suaranya memekik. Ia menempelkan muka kotornya ke batang pohon mangga.

Lihat selengkapnya