“Kang, kapan kamu balik, Kang? Mengertilah, malam sesunyi begini, hati ini beku. Langit tak rupa langit tanpa bintang. Apakah hanya ocehan serangga yang sengaja mengawani dinginku? Bukankah gema dengkurmu adalah syair terindah daripada ejekan jangkrik-jangkrik itu? Pulanglah, Kaaaang. Lasmini tak kuasa menahan hawa serindu ini,” desirku sembari menyedot aroma bajunya yang masih tersisa di almari.
Di sisi lain, di atas rak pojok, menumpuk kertas-kertas lawas. Beralih kudekati dan kupilah-pilah kertas kusam itu. Untaian kata terlintas sebagian digerogoti rayap. Namun, masih banyak yang bisa terbaca. Itu adalah sebagian kata-kata mutiaraku yang berupa pujian, dari seorang remaja yang masih diselimuti gairah kekaguman. Kala itu, diam-diam, Suyanto, kurekam jejaknya melalui banyak pujian. Mengaguminya melewati rangkaian puisi asmara. Yah, diriku yang dulu, seorang perempuan yang terlalu liar menyembah cinta, cinta pada seorang pemuda dusun sebelah. Kang Yanto … ibarat pangeran di sebuah kerajaan. Dulu, aku pernah bermimpi; suatu saat nanti, aku akan menjadi permaisurinya.
Kini, lima tahun sudah tak bersamanya. Serasa lima abad lebih hidup berseparuh nyawa.