Setrika besi kuraup dari atas meja ruangan tengah. Bara arang kuselinapkan. Sekian cukup panas, baru kugosok-gosokkan pada kusutnya kain, lembar demi lembar.
“Las, Lasmini! Pijitin Kang Agung, yah!”
Tanganku wira-wiri menggosokkan benda besi ini pada ujung kerah hingga ujung lengan. Sesekali, kukipas-kipas supaya si api tetap menyala bara.
“Las, kamu nggak dengar, yah?! Kang Agung itu mau pijat!”
Cepat, aku melempar kepala ke arah pintu depan.
“Eh, Bu, Bu Saidah?!” sambutku setengah gelagapan.
Di balik tubuh kecilnya, sesosok manusia ikut menancap tegak. Namanya Agung. Urat syarafku langsung mengisut menyambut kemunculannya yang tak terduga. Gelembung napas mulai gembradak tak karuan. Tanganku hingga bergoyang-goyang mengendalikan si besi bakar.
“Dek, pijitin saya, yah!” pinta si makhluk bumi itu mengernyit genit seakan mencublik mataku. Ingin lidahku memuntahkan ludah. Tetapi, setabah mungkin harus tetap kutahan.
Bu Saidah kemudian menggeret masuk lelakinya walau tanpa kupersilakan lebih dulu. Tanpa diundang, ia memang selalu datang. Wanita berpakaian rok meksi berpadu atasan setengah kebaya itu mendekati daun kupingku. Tiupan geli dan panas pun mengobar-ngobar sebara arang setrikaku itu.
“Las, tolong benahi uratnya Kang Agung, yah! Tapi hati-hati! Mijitnya nggak usah pakai nafsu! Celananya juga nggak usah dipelorot! Biar dipakai saja sama sarungnya. Dan, mijitnya di kasur itu saja! Jangan di dalam!” celoteh wanita yang rambutnya setengah putih ini menuding kasur ruangan tengah.
Kerudungku seakan ikut mengangguk selaras daguku.