Para Sinoman dan biodo9 bergotong royong. Kaum lelaki memasang terop bersanggah tiang dari bambu. Sekerumun daun beringin, mereka ikat di tiap pojoknya. Yang perempuan, menyiapkan aneka sesajian di belakang.
Meja-meja sederhana dan kursi, dideret serapi mungkin. Taplak kain dihampar. Jejeran toples berisi rengginang, opak gambir, kembang goyang, gulo kacang, juga beberapa piring berisi jenang waluh, tetel, lapis, nagasari, dan onde-onde, tak luput menjadi buah mulut bagi para tamu nantinya.
Kuah rawon semerbak dari tempat hidangan samping rumah. Para undangan sunatan Didin, sudah berkumpul di bawah naungan terpal berwarna biru itu.
Tabuhan gamelan dari grup sinden Yuk Ningsih, mendendang merdu. Gesekan rebab, bonang, kendhang, saron, gender, gambang, ditutup pukulan gong, rasanya seperti berada di tengah-tengah keraton Yogyakarta.
Mengundang seorang sinden dan satu penari, kata Yuk Ningsih, cukup membayar separuh saja.
Pembukaan langgam Jawa berhenti sejenak. Dukun sunat Pak Tarmo tiba. Ia langsung memimpin kenduren bubur merah dan setumpeng nasi di atas meja. Doa-doa ia panjat demi keselamatan. Seusai kenduren, garam dihambur ke atas atap juga ke atas terop, sapu lidi ia balik. Berharap, semoga tidak terjadi hujan.
“Yuk! Didin siapkan, yah!” perintah Yuk Sumiarsih menyibak selambu kamarku. Aku masih melangkahi anakku tiga kali sembari menyebut kalimat syahadatain dan tujuh butir solawat.
“Iya, Yuk. Kendurennya biar dimulai dulu. Didin masih saya dandani.”
“Iya wes, Yuk.”
“Kamu jangan nangis, yah, Le. Sunat itu nggak sakit kok. Rasanya seperti digigit semut saja,” ucapku menghiburnya. Beberapa biji sedap malam, kuselipkan ke atas songkoknya. Pipinya kembali kububuhi bedak putih. Kancing baju dan sarungnya, kukencangkan lebih erat lagi.
“Memangnya Emak pernah disunat? Kok tahu rasanya disunat?” tanyanya bernada protes.
“Yah, katanya Pak Dhe Kar begitu, Le. Nggak sakit kok,” jawabku tersenyum padanya.
Wajah anakku menggurat ketakutan. Matanya terlihat memerah.
“Yuk Las, air kembangnya sudah siap. Bisa langsung aku berikan ke Pak Tarmo, yah?”
“Iya, Yuk. Langsung berikan saja,” timpalku.
“Din, anakku. Jangan menangis, loh, ya,” ucapku terakhir kali sebelum ujung manuknya dipotong.
Tubuh kecilnya lantas dikempit Pak Dhe Doyok, digendongnya menuju segerombol orang di bawah terop. Aku hanya bisa menelan mawas menyaksikan darah dagingku sendiri dari kejauhan. Puluhan orang terlibat membentuk bundaran. Anakku dipangku dengan pelukan rapat-rapat. Ia tenggelam dalam lingkaran tikar pandan. Juga kerumunan orang yang menonton acara sakral itu bertambah padat, bagai para semut merubungi makanan.
Sang dukun sunat kemudian merasuk pada bilik tikar yang sudah ada Didin dan Pak Dhe Doyok di dalamnya itu. Terpampang jelas pisau yang digunakan; panjang, tajam, mengkilat, begitu runcing mengerikan. Wadah kemenyan ikut membumbung asap seakan hendak membakar.
“Allahumma solli ala sayyidinaaa Muhammmaaad!” teriak kencang dari mulut Pak Dukun.
“Allahumma solli alaih!” jawaban serempak orang-orang tak kalah kencangnya.
Hatiku ikut teriris. Dua binar mataku meleleh. Muncul keharuan menyesak-nyesak.
Andai Kakang tahu, hari ini adalah hari di mana Didin disunat, betapa gembiranya diriku. Walau dari bayi Kakang seakan tak begitu senang padanya. Lasmini tetap yakin, masih bisa mengasuhnya seorang diri. Lasmini janji, akan terus mendidiknya dengan sekuat tenaga, supaya kelak, ia bisa menjadi orang yang benar-benar berguna.
Mata mungil anakku ikut mengalir air keperihan. Namun, setelah ia dibopong ke empuknya kursi, ia tampak lebih tenang.
“Air gulanya tidak mempan. Biasanya, setelah saya sebul tiga kali, lalu saya minumkan ke anak-anak, mereka dengan cepat tertidur. Anakmu ini sakti, Las! Jampi-jampi Mbah tidak mempan! Ha ha,” tawa Pak Tarmo memecah ketegangan. Didin ikut meringis-ringis menahan perih. Luka di burungnya kembali disiram air kembang yang sudah disiapkan tadi.
Sebagian undangan, menghabiskan sajian kuah hitam di atas piring warna putih. Sebagian lagi, menghampiri Didin, memberinya uang saku dalam bentuk amplop-amplop kecil.